Oleh trubusid
Pot-pot anthurium yang dipajang di stan-stan pada pameran Suan Luang, Bangkok, Thailand, pada 2007 terlihat mencolok. Hampir 1/3 dari 300 stan memajang laceleave itu. Itu kontras dengan suasana Suan Luang pada 2006. Waktu itu anthurium nyaris tak terlihat. Aglaonema, adenium, dan caladium yang mendominasi.
Kondisi Suang Luang pada penghujung 2007 itu bagai cermin bisnis aglaonema di
Tiga tahun silam banyak pembeli asal
Itu sangat berbeda ketika aglaonema tren pada 2005-2006. Banyak pemain tanaman hias lain, seperti puring, euphorbia, anggrek, kembang sepatu, dan adenium, beralih profesi menjadi pekebun sri rejeki karena aglaonema dicari.
Terbesar
Kondisi aglaonema yang lesu di negeri Gajah Putih diamini Surawit Wannakrairoj, PhD, associate professor Departemen Hortikultura Universitas Kasetsart. Pemain tanaman hias Indonesia yang keranjingan anthurium diduga salah satu penyebab. Para importir yang dulunya membawa aglaonema banyak beralih ke raja daun. Sebut saja dr Darwis Nasution di Jakarta, Adil Barus, dan Gustian Daniel di Medan. 'Saat itu (anthurium ngetren di tanahair, red) impor aglaonema drop 80-90%,' ujar Gunawan Widjaja di Sentul, Bogor.
Indonesia memang memiliki pengaruh sangat besar terhadap bisnis tanaman hias di Thailand. Maklum, Indonesia merupakan pasar terbesar. 'Sekitar 80-90% pasar tanaman hias Thailand adalah Indonesia,' kata Prempree Na Songkhla, editor majalah pertanian Kehakankaset di Bangkok. Pembeli tanahair pun berani membayar dengan harga tinggi. Beda dengan negara lain. 'Pembeli dari Cina hanya berani membeli jenis berharga murah,' tambah Prempree. Kegemaran orang Thailand terhadap tanaman hias pun tak segila orang Indonesia.
Meski volume penjualan turun, pemain aglaonema tulen tidak buru-buru membanting setir menggeluti tanaman hias lain. Berbeda dengan kondisi di tanahair. Begitu tren salah satu tanaman hias turun, pemain-terutama yang dadakan-berbondong-bondong menjual dengan harga murah asal kembali modal. Pemain di Thailand justru memanfaatkan turunnya tren untuk kegiatan perbanyakan.
Kembangkan usaha
Trik seperti itu yang dilakukan Pairoj Tianchai di Bangkok. Saat pasar sri rejeki turun, ia malah melipatgandakan jumlah tanaman. Perluasan kebun pun dilakukan untuk menampung anakan. Pekebun Thailand yakin masyarakat Indonesia akan kembali membeli aglaonema.
Jiew berupaya mengembangkan pasar baru ke Amerika Serikat, Eropa, dan negara lain di Asia. Namun, ternyata tak mudah. Makanya pekebun dan pedagang aglaonema di Thailand berharap pasar Indonesia kembali terbuka.
Belakangan mereka mulai bernapas lega. 'Tiga bulan terakhir pasar aglaonema kembali populer,' kata Surawit. Namun, volume dan harga turun dibandingkan 2-3 tahun lalu. 'Dulu harga tinggi lantaran permintaan dari Indonesia sangat banyak sedangkan barang terbatas,' ujar Prempree. Kini, banyak nurseri dan laboratorium di Thailand memperbanyak aglaonema dengan cutting maupun kultur jaringan. Populasi meningkat, harga pun turun.
Volume impor juga berkurang karena pekebun di tanahair mulai memperbanyak anggota famili Araceae itu. Sebut saja Ukay Saputra di Sawangan, Depok. Tiga tahun silam aglaonema pemilik nurseri Anisa Flora itu 100% tanaman impor. Kini tanaman yang dijual hasil budidaya sendiri.
http://www.trubus-online.co.id/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=1&artid=1208
Tidak ada komentar:
Posting Komentar