13 Desember 2007

Media Tanam Alternatif Bagi Anthurium Daun

Newsroom Rabu, 12 Desember 2007

Sebenarnya, anthurium tergolong ke dalam tanaman indoor. Umumnya, tanaman ini ditanam di pot sehingga bisa diletakkan di teras atau di dalam rumah. Karena ditanam di pot inilah, maka sebisa mungkin kita memilih media tanam yang tapat agar anthurium tetap tumbuh dengan baik.

Pada dasarnya, anthurium membutuhkan media tanam yang subur, lembab tetapi tidak sampai basah, dan sangat porous. Adapun media tanam yang paling banyak digunakan dan mudah didapatkan adalah cacahan pakis karena bahan ini memudahkan akar anthurium yang lunak menembusnya. Cacahan pakis juga mengandung unsur organik yang cukup untuk kebutuhan tanaman dan sangat porous sehingga akar anthurium yang peka terhadap genangan tidak mudah busuk.

Selain itu, Anda pun dapat mencampurkan media tanam lain untuk anthurium daun Anda. Namun tentu saja, takarannya harus disesuaikan agar tidak menyebabkan kerusakan pada akar anthurium.

Berikut ini kami informasikan beberapa campuran media tanam untuk anthurium daun.

• Campuran humus gunung, pupuk kandang, dan pasir, dengan perbandingan 5 : 5 : 2.
• Campuran akar pakis dan biji kapuk randu, dengan perbandingan 1 : 1.
• Campuran akar pakis, pupuk kandang, dan sekam bakar, dengan perbandingan 3 : 1 : 1.
• Campuran akar pakis, akar kadaka, dan humus kaliandra, dengan perbandingan 3 : 3 : 1.
• Campuran akar pakis, humus gunung, dan pupuk kandang, dengan perbandingan 1 : 1 : 1.
• Campuran sekam bakar dan pupuk kandang, dengan perbandingan 1 : 1.
• Campuran akar pakis, humus gunung, dan akar kadaka, dengan perbandingan 1 : 1 : 1.
• Campuran akar pakis dan sekam bakar, dengan perbandingan 1 : 1.

Nah, setelah mengetahui beberapa alternatif campuran media tanam untuk anthurium daun Anda, tidak ada salahnya untuk segera mencoba untuk mempraktikkannya. Siapa tahu, dengan mengganti media tanam yang ada, anthurium daun Anda dapat tumbuh lebih baik lagi. Selamat mencoba!

* Artikel lepas ini diintisarikan dari buku Mengenal & Merawat Anthurium Daun dan Media Tanam Untuk Tanaman Hias yang diterbitkan oleh AgroMedia Pustaka.

http://www.agromedia.net/kabar_agromedia/media_tanam_alternatif_bagi_anthurium_daun.html

Pemilihan Pupuk yang Tepat Bisa Mempercantik Tanaman!

Oleh Newsroom Senin, 26 November 2007) Ada banyak faktor yang bisa mengakibatkan ‘sakit’ pada tanaman. Salah satunya adalah kesalahan dalam pemupukan. Akibatnya, keindahan dan nilai jual tanaman hias tersebut menjadi berkurang, bahkan bisa menjadi tidak berharga sama sekali.

Meski banyak orang yang sangat concern terhadap tanaman hias, tapi tidak banyak yang memahami tentang tata cara pemupukan yang benar dan tepat. Sekalipun di pasaran banyak jenis pupuk yang ditawarkan, Anda jangan terkecoh. Pupuk yang Anda pilih belum tentu cocok dengan kondisi tanaman hias kesayangan Anda.

Secara umum, tanaman hias memiliki sifat masing-masing terhadap kandungan air, unsur hara, dan kondisi tanah. Untuk penyesuaian kadar yang ideal, diperlukan pengolahan media tanam yang benar dan tepat. Berkaitan dengan media tanam tanaman hias, pemupukan sangat berperan dalam penyesuaian unsur hara yang terkandung di dalamnya.

Oleh sebab itu, pemupukan yang salah bisa mengakibatkan buruknya kondisi media tanam, sehingga memengaruhi kualitas perkembangan tanaman hias. Maka, sering ditemukan kasus buruknya pertumbuhan tanaman, bahkan berakhir dengan kematiannya, sekalipun bibit tanaman tersebut diperoleh dari jenis unggulan dan diproses secara sempurna di laboratorium pembibitan.

Selain itu, setiap jenis pupuk tidak diperoleh dari bahan yang sama, misalnya pupuk anorganik diperoleh dari proses kimiawi yang diolah oleh pabrik. Sedangkan pupuk organik dihasilkan dari bahan-bahan alami, seperti bangkai hewan, kotoran hewan dan manusia, serta tumbuh-tumbuhan yang sudah mengering.

Masing-masing pupuk memiliki sifat dan kandungan zat yang berbeda-beda. Ada yang kadar Nitrogennya (N) lebih tinggi, Fosfornya (P) lebih tingi, atau Kaliumnya (K) yang lebih tinggi. Biasanya, dosis pupuk tertera dalam kemasan.

Oleh sebab itu, memilih pupuk dan pengaturan komposisinya tidak boleh sembarangan. Akan tetapi, harus disesuaikan dengan jenis, kondisi tanaman, dan fase pertumbuhannya.

Jadi, apapun tanaman hias Anda—anthurium, anggrek, aglaonema, adenium, euphorbia, atau puring—pastinya akan terlihat lebih indah jika unsur dasar dalam merawatnya pun diperhatikan dengan benar.

Selamat mencoba!

*Tulisan ini diintisarikan dari buku Cara Tepat Memupuk Tanaman Hias yang ditulis oleh Redaksi AgroMedia Pustaka.

http://www.agromedia.net/kabar_agromedia/pemilihan_pupuk_yang_tepat_bisa_mempercantik_tanaman.html

11 Desember 2007

Raja Hitam Penakluk si Bongsor


Oleh trubuson Sabtu, 01 Desember 2007) Jari-jemari Suci Puji Suryani bergerak lincah menekan tuts komputer jinjing. Angka di lembar penjurian pun berpindah ke komputer bank data. Begitu rekap penilaian dicetak 30 menit berselang, 3 juri mengangguk sepakat. Total poin tertinggi merujuk pada 1 pot pilihan. 'Ini sebuah kemenangan absolut,' kata Evy Syariefa, salah satu juri. Anthurium jenmanii koleksi Ir Horas Pardomuan Batubara atau Domu di pot 35 pun menjadi yang terbaik di kelas jenmanii.

Raja daun berwarna kehitaman itu memang luar biasa. 'Penampilan daun kompak, roset, dan rimbun. Ia kian unggul karena didukung kesehatan yang tinggi, daunnya mulus, nyaris tanpa cacat,' kata Nurdi Basuki, juri lain. Sosoknya semakin kokoh karena tangkai daun pendek. Tiga juri-Nurdi Basuki, Ukay Saputra, dan Evy Syariefa-pun menobatkannya sebagai yang terbaik. Warna hitam pun menarik. Banyak kalangan menduga varian berwarnalah yang bakal diminati di masa depan.

Sejatinya, pesaing utama si hitam tak kalah tangguh. Saudara selubuknya-juga milik Domu-berpenampilan prima. Urat dan liukan daun jenmanii kol itu menonjol. Sayang, posisi tumbuh daun kurang kompak. Ia pun mesti puas di posisi kedua dengan total nilai 244,785. Selisih 2,61 poin dengan si hitam yang mendulang angka 247,395. Di tempat ketiga, bertengger A. jenmanii tanduk lilin koleksi Mohawari. 'Tanduk lilin paling langka di antara semua kontestan. Namun, ini bukan lomba kelangkaan. Yang tampil prima yang pantas juara,' tutur Nurdi.

Toh, bukan berarti peserta lain tak berkualitas. Sebut saja A. jenmanii dengan pot cokelat berpita milik Maria A Aprima Vista. Kontestan bernomor 25 itu menarik perhatian tim juri dan pengunjung. Maklum, sosoknya yang bongsor tampak indah dengan daun yang mulus. Ia pun melenggang ke posisi 10 besar. Sayang, ia gagal menorehkan sejarah sebagai juara karena 3 juri cukup jeli. 'Ada ujung daun yang digunting mengikuti pola normal, mungkin karena rusak,' kata Evy Syariefa. Si bongsor berdaun 20 pun tumbang.

Seru

Kontes anthurium yang digelar pada ajang Trubus Agro Expo 2007 itu menyedot perhatian pengunjung. Sebanyak 81 raja daun turut ambil bagian dalam kompetisi itu. 'Jumlah peserta meningkat 100%. Tiga bulan silam kontes serupa hanya diikuti 40 peserta,' kata Utami Kartika Putri, manajer pengembangan Trubus. Sayang, menurut Nurdi secara keseluruhan kualitas peserta menurun. Diduga indukan jenmanii berkualitas telah berpindah tangan ke kolektor di Jawa Tengah.

Yang menarik, peserta jenis anthurium lain pun membeludak. Sebut saja kelas nonjenmanii dan nonwave of love pun dimeriahkan 39 kontestan. Kali ini A. hookeri variegata milik Sukarno yang memenangkan pertarungan. Secara tak terduga ia mengalahkan indukan corong milik H Husein. 'Kesan pertama hookeri lebih menonjol,' kata Nurdi. Menurut Nurdi, yang justru menarik ialah sang jawara 3, keris tanduk. Tepi daun bergelombang khas, daun sempit, melengkung, dan bentuk daun membentuk huruf V. Diduga ia silangan keris dengan wave of love.

Di kelas wave of love, 2 tempat terbaik diboyong Riana Suma Putri dari Gading Permai. Gelombang cinta di pot nomor 6 dan 7 koleksinya menempati posisi pertama dan kedua. Keduanya tampil sebagai juara karena tipe gelombang menarik dan daun sehat. Sementara pemenang ketiga direngkuh A. plowmanii koleksi Ruwiyantoro yang berdaun belang.

Sansevieria

Di tengah demam anthurium di Indonesia, hajatan pada 11 November 2007 itu juga menggelar lomba sansevieria. 'Di sini luar biasanya. Justru saat tren anthurium, sansevieria yang keluar di kontes kualitasnya malah meningkat tajam,' kata Ana Silvana, juri sansevieria. Di kontes kali ini banyak sekali sansevieria langka dan mutasi yang berpenampilan prima. Lazimnya, sansevieria langka dan mutasi tampil memble di kontes. Pasalnya, kondisi mereka hanya 2-3 daun atau berdaun banyak tapi stres karena perjalanan jauh. Posisi juara pun banyak digenggam kelompok trifasciata, sansevieria kebanyakan yang tak langka.

Menurut Ana, hadirnya jenis langka dan mutasi berpenampilan prima karena demam anthurium. 'Semua orang fokus pada raja daun. Sementara bagi penggemar sansevieria sejati, itu saat tepat untuk pemulihan. Maklum, jenis langka dan prima banyak didatangkan dari mancanegara,' kata wanita yang berprofesi sebagai eksportir sansevieria itu. Ana menyebut Sansevieria fischerii variegata dan S. cylindrica variegata sebagai contoh.

Dua tanaman yang disebut terakhir itu dinobatkan 3 juri-Ana Silvana, Grace Satya Dharma, dan Syah Angkasa-sebagai kampiun dan runner up di kelas batang tunggal. Kedua lidah jin itu koleksi Edi Sebayang, kolektor sansevieria yang getol mendatangkan lidah naga-sebutannya di China-dari Thailand. Di posisi ketiga Sansevieria patens milik Ramandya Rafi Bagaskoro. Sementara di kelas batang majemuk, koleksi Dr Wisyanti Siahaan, B Rudy, dan Edi Sebayang secara berurutan di posisi 1-3. Menurut Ana, lidah naga pun tak mau kalah dengan sang raja daun, anthurium. (Destika Cahyana/Peliput: Nesia Artdiyasa)

http://www.trubus-online.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=1&artid=129

Air Mata Anthurium


Oleh trubuson Sabtu, 01 Desember 2007) Malam senyap, saat sebagian orang meringkuk di balik selimut, Bripka Supriyono terjaga. Gonggongan anjing membangunkan tidur ayah seorang anak itu. Ia mengendap-endap menuju pintu belakang rumahnya. Tangan kanannya memegang revolver yang siap memuntahkan peluru. Dengan gerakan cepat ia membuka pintu dan mengarahkan moncong pistol itu ke beberapa arah.

Namun, secepat kilat pencuri menghilang. Itu bukan kisah di film-film laga, tetapi kejadian nyata di kompleks perumahan Pura Arista, Bojonggede, Kabupaten Bogor. Pencuri menyatroni rumah Supriyono. Mereka membawa kabur 8 anthurium yang tercerabut dari pot. Media tanam berhamburan di bawah rak setinggi pinggang. Pot berantakan. Salah satu yang dicuri adalah Anthurium jenmanii bertulang daun merah yang petang sebelumnya ditawar Rp7-juta.

'Saya syok,' ujar polisi berusia 37 tahun itu. Hampir 2 pekan pascapencurian, puluhan anthurium koleksinya telantar. Padahal, biasanya jam berapa pun tiba di rumah, ia selalu menyempatkan untuk melihat-lihat tanaman hias daun itu. Begitu juga pagi sebelum berangkat kerja, ia masih sempat merawat tanaman anggota famili Araceae itu. Namun, semangat merawat kerabat aglaonema itu seperti hilang.

Harap mafhum, pencurian di rumah polisi itu bukan untuk yang pertama. Bayangkan, hanya dalam waktu kurang dari sebulan, ia 3 kali kecurian. Pertama pada 14 Agustus 2007, 5 pot anthurium berpenampilan prima hilang. Supriyono meletakkan tanaman-tanaman hias itu di sisi kanan rumahnya. Maling leluasa menggondol 5 anthurium-wayang dan jaipong-setelah meloncat pagar tembok setinggi dada.

Sepuluh kali

Polisi yang menekuni bisnis anthurium sejak akhir 2005 itu langsung membuat greenhouse berpagar seng di sisi kanan rumahnya. Namun, ia menyisakan bangunan itu-tanpa pagar seng- sebagai pintu keluar-masuk. 'Toh pintu itu dekat kamar tidur saya. Masak kalau ada orang masuk saya tidak tahu?' ujar Supriyono. Perhitungannya ternyata tak sepenuhnya benar. Betul, si tangan panjang itu tidak melewati pintu itu, tetapi menggangsir alias membuat tembusan di tanah.

Total jenderal 30 pot anthurium hilang. Beberapa yang hilang adalah queen cobra terdiri atas 9 daun yang ditawar Rp30-juta; burgundi, Rp15-juta, dan mangkok, Rp10-juta. Belum lagi jenis-jenis langka seperti tanduk tulang merah dan black dragon. Kerugiannya? Menurut perhitungan Supriyono total jenderal kerugiannya Rp200-juta dari 3 kali kecurian. Itulah sebabnya ia syok, hampir putus asa menekuni bisnis anthurium.

Namun, akhirnya semangat Supriyono berkobar lagi setelah mengingat begitu banyak investasi yang dibenamkan. Usai Lebaran silam, ia membuat pagar seng sepanjang 140 meter. Seng itu memagari lahan kosong yang akan dijadikan sebagai lokasi perumahan. Letak lahan persis di sisi kanan rumahnya. Supriyono menduga area itu kerap dimanfaatkan pencuri untuk melarikan diri. Menurut pedagang yang semula tak tertarik sosok anthurium itu, biaya pembelian seng mencapai ratusan juta rupiah.

Selain itu ia juga membangun pos pengamanan di depan rumah, menggaji seorang satuan tugas pengamanan, dan memelihara anjing. Semua itu dilakukan agar pencurian tak terjadi lagi. Dua tahun terakhir seiring dengan melambungnya popularitas anthurium, kasus pencurian juga meningkat. Bahkan beberapa orang mengalami pencurian berkali-kali seperti dialami Supriyono. Sugiyono Budhi Prawira, pedagang di Bogor, Jawa Barat, misalnya, 10 kali kecurian dengan kerugian ratusan juta rupiah.

Pingsan

Kasus pencurian juga terjadi di sentra terbesar anthurium, Karanganyar, Jawa Tengah. Lihatlah Hauw Lie, pedagang besar di Karangpandan, Karanganyar. Tak tanggung-tanggung 302 Anthurium jenmanii digondol maling. Pencuri mencabut tanaman berukuran 15 cm dan rata-rata terdiri atas 5 daun itu dari pot. Harga sebuah tanaman berkisar Rp1,5-juta-Rp2-juta. Artinya, pemilik Nurseri Gracia itu merugi Rp453-juta hanya dalam semalam pada 1 November 2007.

'Saya yang merawatnya jadi sangat sedih,' ujar Rukimin, karyawan Nurseri Gracia. Rukimin bukannya tak memberi pengamanan untuk greenhouse seluas 50 m2. Ia memagarinya dengan kawat ram, memelihara 2 angsa, melepas anjing pada malam hari, dan menggaji seorang penjaga. 'Angsa sebagai alarm alami ketika ada orang masuk,' ujar Rukimin. Meski, pengamanan berlapis toh pencurian tak terelakkan.

Pencurian tak hanya terjadi pada malam hari, malahan di rumah Ir Purnomo pada pagi hari. Pukul 09.30 sejam setelah ia meninggalkan rumah ke kantor, 2 pemuda berusia 20-an tahun datang untuk membeli anthurium. Hadmanti, ibunda Purnomo, sendirian di rumah melayani mereka yang mengajak berbincang-bincang santai. Seingat Hadmanti, mereka 2 kali datang ke lokasi itu. Seketika muncul 2 pemuda lain yang mengikat kedua tangan Hadmanti. Tali plastik yang lazim sebagai tambang jemuran pakaian itu juga dililitkan ke leher.

Perempuan 75 tahun itu tak sempat berteriak lantaran mereka menyumpal mulutnya dengan gulungan kain. Setelah kedua kaki diikat, perempuan malang itu ditidurkan di dapur. Kawanan perampok itu amat leluasa mengambil 44 anthurium berpenampilan prima. Jenis lemon urat kuning bertongkol satu, umpamanya, ditawar Rp225-juta; jenmanii 2 tongkol, Rp60-juta. Beberapa tanaman yang dicuri sebetulnya sudah dibeli orang.

Jenmanii mini size lemon terdiri atas 2 daun, rencananya pada pukul 14.00 akan diambil seorang pembeli. Tanaman itu laku Rp35-juta. 'Kerugian yang dilaporkan (kepada polisi, red) hanya Rp150-juta. Tetapi kalau dihitung kerugian kira-kira setengah miliar rupiah,' ujar alumnus Fakultas Pertanian Universitas Islam Bandung itu.

Saya belum bisa menerima mengapa ibu dianiaya,' ujar karyawan Laboratorium Hama dan Penyakit Tumbuhan Surakarta itu. Soalnya peristiwa itu membuat ibundanya trauma. Kepada reporter Trubus, Nesia Artdiyasa, Hadmanti menuturkan, 'Sampai sekarang saya belum berani tinggal di rumah sendiri, meski siang hari.'

Jiwa terguncang

Bisnis anthurium memang tak hanya melahirkan senyum mengembang bagi yang meraup untung besar. Namun, banyak juga yang menelan pil pahit karenanya. Sebut saja Mahendradata yang syok melihat anak laki-lakinya dirawat di Rumahsakit Jiwa (RSJ) Magelang, Jawa Tengah. Ketika ditemui Trubus wajah pria separuh baya itu muram. 'Saya masih syok,' katanya singkat. Musababnya, Sentanu-atas permintaan ayahnya, nama itu disamarkan-mendapat pesanan bibit anthurium.

Pria 32 tahun itu bergegas melayaninya dengan mendatangkan satu mobil bibit anthurium. Celaka tiga belas, bibit itu ditolak oleh pemesan lantaran tidak sesuai spesifikasi yang diinginkan. Kejadian itulah yang mengguncang jiwanya. Sentanu yang berbisnis anthurium setahun terakhir itu kerap berjalan sendirian tanpa tujuan jelas. Bila melihat tanaman, mulutnya meracau memberikan komentar.

Anthurium juga menguras air mata Joko Sungkono. Mata guru SD Kemuning, Karanganyar, itu sembap mengetahui 50 jenmanii senilai Rp450-juta tercerabut dari pot. Teriakan tetangganya, 'Maling… maling…,' membangunkannya. Ia langsung mengecek greenhouse di sisi rumahnya. Pot-pot kosong-melompong berserakan tanpa anthurium.

Kisah mengenaskan 'gara-gara' anthurium juga dialami oleh 2 pemuda, sebut saja Arnold dan Armadino, warga Jakarta. Wajahnya babak belur dan mata membengkak dihajar massa. Trubus menjenguk mereka di Rumahsakit PKU Muhammadiyah Surakarta. Tangan kiri mereka diborgol dengan tempat tidur. Mereka datang ke Surakarta, Jawa Tengah, atas ajakan temannya. Di sana temannya menyewa mobil dan pergi ke sebuah tempat. Di tempat itu Arnold dan Armadino menunggu di luar mobil.

Tak berapa lama, terdegar suara gaduh. Ternyata temannya itu mencuri anthurium. Karena ketahuan, temannya melarikan diri dengan membawa mobil serta meninggalkan Arnold dan Armadino. Karung berisi anthurium ditinggalkan. Nah, Arnold dan Armadino yang mengatakan tak tahu-menahu itu menjadi sasaran amuk massa. Kisah sedih itu juga dialami sebut saja Setyaki. Karyawan sebuah toko penyedia tanaman hias itu mencuri anthurium untuk biaya pernikahannya. Namun, jejaknya mudah dilacak. Alih-alih menikah, ia malah dikeluarkan dari tempatnya bekerja.

Menurut Bripka Supriyono, anthurium menjadi incaran pencuri karena harganya mahal. 'Ketimbang mencuri mobil, mereka (pencuri) pikir lebih enak mencuri anthurium, karena tanpa perlu surat, mudah dibawa, dan mahal,' ujar Supriyono yang memarkir mobil di jalan depan rumah. Anthurium memang membuat banyak orang tersenyum lantaran menikmati laba besar. Namun, banyak juga yang menangis karenanya. Ah, anthurium.… (Sardi Duryatmo) http://www.trubus-online.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=1&artid=130

Hibrida Berlabel Jenmanii

Oleh trubuson Sabtu, 01 Desember 2007) Pemilik situs The Exotic Rainforest di Amerika Serikat heran bukan kepalang. Dalam sehari masuk 4-5 kali permintaan Anthurium jenmanii dari hobiis Indonesia sejak setahun terakhir. Sayang, situs itu tak menjual si raja daun. Sebuah nurseri besar di negeri Paman Sam juga mengaku produksi A. jenmanii hingga 2008 sudah dipesan orang Indonesia. Jenmanii menjadi nama populer dan bernilai jual tinggi di jagad tanaman hias Nusantara.

Popularitas A. jenmanii memang luar biasa. Pemilik nurseri dan media massa membandrolnya dengan harga selangit. Ia disebut-sebut sebagai lokomotif anthurium karena mampu mengangkat jenis lain. Sebut saja A. plowmanii alias gelombang cinta yang turut terdongkrak. Gaung kontes anthurium pun bergema hampir tiap bulan.

Namun, benarkah label A. jenmanii pantas disematkan pada jenmanii yang kini mempunyai embel-embel nama belakang? Sebut saja jenmanii kobra, mangkok, king kobra, supernova, dan anakonda. Sekadar contoh, pengalaman penulis menjuri anthurium di Pameran Flora dan Fauna 2007 di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, dapat menjadi pertimbangan. Sejatinya, dari 50 peserta kelas jenmanii, hanya ada 1 tanaman yang betul-betul jenmanii.

Selain itu semuanya tak layak lagi disebut A. jenmanii, karena memang bukan jenmanii. Ia adalah anthurium hibrida yang salah satu indukannya kemungkinan A. jenmanii. Di kalangan pemulia, hibrida yang asal-usulnya tak lagi dapat dirunut disebut mongrel strain. Sebutan itu juga dipakai oleh komunitas pencinta anjing pada anjing yang tak jelas trah-nya, misalnya pada anjing kampung. Ia mendapat konotasi negatif karena pemulia profesional tak lagi memakainya dalam penyilangan selanjutnya.

Tak lazim

Menurut hemat penulis, penamaan anthurium di negeri ini di luar kelaziman tatanama yang berlaku. Pasalnya, suatu tanaman hasil silangan, namanya tak perlu lagi menggunakan nama spesies maupun subspesies dari salah satu indukannya. Walau tak dapat disangkal, boleh jadi keturunan itu lebih baik ketimbang kedua induknya. Nama sebuah hibrida lazimnya diberikan nama yang eksotis atau populer, misalnya A. emerald forest atau A. star ruby. Itu dikaitkan dengan penampilannya yang baru atau dikaitkan dengan nama penyilang maupun orang terkenal.

Publik baru mengetahui nama sang induk, bila penyilang atau pembudidaya bersedia menyebutkan. Penyilang profesional biasanya menyebutkan spesies, subspesies, atau varietas indukannya. Itu pun langka sekali yang bersedia, karena membuka itu sama dengan membeberkan rahasia perusahaan. Pengamat lain hanya bisa berhipotesis soal indukan dari penampilan tanaman.

Contoh yang paling mudah ialah Aglaonema rotundum. Semua mafhum, rotundum ialah indukan yang membawa gen merah dominan. Hampir semua aglaonema hibrida berwarna merah mewarisi darah rotundum. Namun, tidak ada satu pun varietas silangannya yang diberi nama salah satu tanaman induknya. Dua keturunan rotundum yang paling populer ialah aglaonema pride of sumatera dan donna carmen. Ia hanya disebut pride of sumatera dan donna carmen, bukan A. rotundum pride of sumatera dan A. rotundum donna carmen. Itu karena gen pada tanaman itu tak hanya berasal dari A. rotundum.

Memang ada juga pemberian nama populer di samping nama spesies seperti pada sansevieria. Sebut saja pada Sansevieria halii. Dikenal S. halii Baseball Bat, S. halii Baseball Bat variegata, S. halii Blue Bat, dan S. halii Pink Bat. Pun pada kelompok trifasciata, ada S. trifasciata laurentii Twisted Sister dan S. trifasciata laurentii Gold Flame. Namun, sederetan nama itu bukanlah tanaman hasil silangan alias hibrida. Mereka sekadar mutasi dari spesies yang memang kerap terjadi pada lidah mertua. Pemberian nama yang berbeda sekadar membedakan mutasi yang satu dengan yang lain dalam satu spesies.

Tetap sama

Lalu bagaimana A. jenmanii yang asli? Jenmanii yang darahnya belum tercampur anthurium lain kemungkinan datang ke Indonesia pada awal 80-an. Ciri khasnya, apabila sudah cukup umur, sosoknya besar, daun lebar, bertekstur kasar, gampang berbunga, dan banyak menghasilkan biji. Penulis pertama kali mendapatkan biji-biji jenmanii pada awal 80-an dari sahabat pena di Florida. Dari puluhan biji yang disemai hampir semuanya bersosok sama, tak ada yang menunjukkan kelainan signifikan. Itu dari sebuah indukan yang diambil dari habitatnya di Suriname.

Sampai awal 90-an A. jenmanii itu dikembangbiakkan. Ternyata sosok A. jenmanii beserta keturunannya tetap sama hingga generasi ketiga, karena merupakan galur murni. Itu sangat berbeda dengan saat ini, sulit sekali menemukan A. jenmanii. Kerapkali hobiis baru mengeluh karena begitu banyak anthurium yang diakui anakan jenmanii, tapi sama sekali tak menampilkan satu pun ciri yang ada pada jenmanii. Itu karena memang tidak ada darah jenmanii dalam silsilahnya.

Bila demikian, maka sengaja atau tidak, telah terjadi sebuah penipuan dan pembodohan karena informasi tidak lagi mengandung kebenaran bahkan cenderung menyesatkan. Ada 3 hipotesis sebagai biang keladinya. Pertama, segelintir orang mendompleng nama jenmanii-yang tengah naik daun-untuk mendongkrak harga jual anthuriumnya. Kedua, ketidaktahuan pembeli dimanfaatkan penjual, dan terakhir, penjual pun sebetulnya tidak mengetahui. Terjadilah simpang siur informasi yang kian parah karena publikasi media yang jor-joran tanpa konfirmasi pada ahlinya.

Hibrida

Sebagai tanaman hibrida, varian hasil silangan jenmanii dengan beragam nama yang kita kenal belum jelas silsilahnya. Anehnya, pedagang dan hobiis baru berani membeli kecambah jenmanii dengan harga yang menggila, Rp200-ribu-Rp1-juta. Padahal, pengalaman penulis menyilangkan A. jenmanii dengan A. bondplandii subsp guayanum sejak 1990 menghasilkan banyak varian. Dari 100 anakan F1 hanya 3 tanaman yang dipelihara. Anakan F1 lalu disilangkan sesamanya dan dihasilkan 200 anakan F2. Hanya 2 yang tetap dipelihara. Sisanya dimusnahkan.

Tanaman pertama dipilih karena cenderung mengikuti A. jenmanii, tetapi sosok lebih kecil. Tekstur daun sangat nyata, warna daun hijau tua cenderung gelap dan mengkilap. Daun cenderung lebih tebal ketimbang 2 induknya. Tanaman kedua berukuran sama dengan A. bondplandii subsp guayanum, hanya daun lebih lebar, tulang daun nyata, warna hijau kecokelatan, dan pucuk berwarna merah burgundi. Artinya, mendapatkan silangan yang berkualitas sangat sulit. Dari 200 anakan hanya 2 yang berkualitas. Itulah sebabnya, kolektor rela merogoh kocek dalam-dalam.

Artinya, suatu kebodohan bila seorang hobiis berani membeli anakan hanya karena nama besar induknya. Ia hanya berangan-angan memperoleh anakan yang mirip dengan induknya yang hibrida. Pasalnya, kemungkinan itu amatlah kecil karena dalam darah induk mengalir berbagai macam tetua anthurium yang tak jelas lagi runutannya. Padahal, secara teori anakan suatu hibrida hanya akan mirip dengan induknya bila diperbanyak secara vegetatif, misal dengan potong bonggol.

Kini, anakan anthurium hibrida yang dulu dibuang-buang karena dianggap tak prospektif menjadi mesin uang. Dikhawatirkan terjadi kejenuhan pasar secara cepat seperti kasus lou han. Bayangkan, berapa banyak hobiis baru yang kecewa karena telanjur menginvestasikan dana. Sebuah kenyataan pahit yang mesti diterima apa adanya. (Felix Fadjar Marta, pengamat tanaman hias, tinggal di Jakarta)

http://www.trubus-online.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=1&artid=131

Pesona Sansevieria Mini Dari Negeri Jiran hingga Negeri Sendiri

Oleh trubuson Sabtu, 01 Desember 2007) Inilah legenda karya Jonathan Swift! Di tepi pantai, Gulliver, dokter muda asal Inggris, tergolek pingsan. Ia terdampar setelah kapal layarnya karam dihantam gelombang. Betapa terkejutnya Gulliver kala tersadar. Seluruh tubuh terikat. Ratusan prajurit mini-seukuran 6 inci setara 15 cm-mengelilingi dengan senjata terhunus. Kisah di negeri liliput itu begitu populer ke penjuru negeri. Namun, di Penang, Malaysia, bukan prajurit mini yang terkenal. Di sana, sansevieria mini seukuran 5-15 cm mulai populer.

Pantas sansevieria mini digandrungi hobiis Malaysia. 'Sosoknya imut. Itu menjadi daya tarik buat hobiis pemula,' kata Tham Peng Hooi, pemilik Xiang Fook Garden. Pada Pameran Bunga di Taman Botani Pulau Penang misalnya. Trubus melihat sebagian besar gadis dan ibu rumahtangga yang keluar dari stan Xiang Fook menenteng jinjingan berisi si liliput. Padahal, lidah jin-sebutan sansevieria di negeri jiran-itu dibandrol dengan harga tinggi.

Sebut saja sansevieria dari keluarga trifasciata. Ia dibandrol dengan harga rata-rata RM28 setara Rp70.000. Bandingkan dengan sansevieria serupa yang bersosok biasa, harganya hanya Rp15.000-Rp20.000. 'Bila tak dibuat mini, jarang dilirik. Dianggap tanaman biasa,' ujar Tham. Menurutnya, ide membuat sansevieria mini berasal dari ayahnya, Tham Hok Cheng. Tham senior 'mengerdilkan' sansevieria agar tanaman itu bisa diletakkan di atas meja: di samping komputer atau di dekat asbak.

Ketika itu 2 tahun silam, keluarga Tham mendapat informasi sansevieria bermanfaat bagi lingkungan. 'Kabarnya dia (sansevieria, red) antipolusi dan antiradiasi. Bukankah cocok diletakkan di meja perokok dan pegawai yang selalu di depan komputer?' tanya Tham senior. Lidah naga-sebutannya di China-pun dibuat mini dengan cara sederhana. Rimpang atau anakan sansevieria yang baru muncul ditanam di pot mini berdiameter 8-12 cm dengan media cocopeat murni. Pertumbuhan sansevieria pun terhambat karena media miskin hara.

Dosis rendah

Menurut Tham, agar kehidupan si mini tetap berjalan, setiap minggu disiram dan disemprot pupuk daun dosis rendah. Sebutan takaran rendah itu mengacu pada dosis kemasan. 'Sekitar 1/2-1/4 dari dosis yang tertera. Jenis pupuk apa pun bisa digunakan,' ujar Tham. Inovasi ayah dan anak itu tak berhenti sampai di situ. Untuk mendongkrak harga Tham menanam sansevieria mini berdekatan dengan boneka-mini di sebuah pot sedang, berdiameter 20 cm. Tampilan lidah mertua itu menjadi cantik, mirip taman mini. Harga pun melambung menjadi RM68 setara Rp170.000.

Kreasi dari negeri jiran itu mengingatkan pada sansevieria koleksi A Gembong Kartiko di Batu, Jawa Timur. Sejak 1,5 tahun silam ia 'membonsai' sansevieria mini untuk mengangkat pamor si lidah naga (baca: Lidah Jin Kecil Itu Indah, Trubus Mei 2007). Gembong juga menggunakan media minim hara meski berbeda. Ia memakai 100% sekam bakar atau pasir malang, sekam mentah, dan sekam bakar dengan komposisi 2:1:1. Pengrajin gerabah itu mencetak sansevieria mini untuk memuaskan hobiis sansevieria Jawa Timur yang umumnya berlatar belakang bonsai.

Menurut Gembong tren sansevieria mini di Malaysia membuktikan lidah naga kerdil memang cocok untuk hobiis, mulai dari pemula hingga kolektor. 'Itu sebuah bukti, sansevieria tanaman bandel. Ia bisa tumbuh di media apa pun, mulai cocopeat, mosh, sekam, hingga pasir murni,' tutur Gembong. Bahkan, menurut Agus Mulyadi, pemilik nurseri Griya Disp, Solo, sansevieria mini bagaikan sebuah lokomotif. Ia menjadi pintu masuk hobiis pemula untuk menyukai lidah mertua. Ia membuktikan dalam sebuah sosialisasi sansevieria 3 bulan silam, sebanyak 200 pot lidah mertua mini, ludes diserbu pemula.

Pasir laut

Nun di Yogyakarta, ada juga Yoe Kok Siong, yang membuat sansevieria mini dengan cara tak lazim. Pemilik nurseri Kaliurang Garden Center itu menumbuhkan sansevieria dari kelompok trifasciata di media pasir laut. Semuanya berawal dari kebetulan belaka. Ketika itu setahun silam, ia mengambil pasir laut untuk dihamparkan di taman. Tak disangka, sansevieria yang terkena pasir laut tumbuh bagus. Padahal, sebelumnya lidah mertua itu terabaikan lantaran membusuk di pot dengan media biasa-campuran tanah, kompos, dan sekam.

Ia pun memindahkan sepot lidah naga ke dalam pot kecil dengan media pasir laut murni. 'Pasir cukup dijemur sampai kering, baru dipakai sebagai media,' katanya. Benar saja, sang lidah jin tumbuh prima meski berukuran mini. Pengusaha jamu itu lalu meletakkannya di atas meja selama berbulan-bulan tanpa penyiraman. Menurut Yoe, sansevieria tetap mendapat pasokan air karena kelembapan Kaliurang tinggi. Diduga pasir laut mampu menyerap butiran air dari udara. Sementara sosok mini terjadi karena ukuran pot kecil, sehingga pergerakan akar dan daun terhambat. Media itu berhasil menumbuhkan sansevieria mini sebanyak 400 pot.

Menurut Lanny Lingga, praktisi tanaman hias di Bogor, sebetulnya sansevieria tak menyukai media dengan elektrokonduktivitas (tingkat penghantaran listrik yang dipengaruhi jumlah kation dan anion, red) tinggi dan suasana basa. Kemungkinan besar pasir pantai memiliki elektrokonduktivitas tinggi dan suasana basa karena tingginya kadar garam, 'Bila yang digunakan pasir pantai, kadar garam tinggi, karena terjadi proses pengendapan garam. Lidah mertua bisa keracunan garam dan busuk karena bakteri. Soalnya, bakteri menyukai suasana basa,' tutur Lanny.

Namun, bukan berarti pasir laut tak bisa digunakan. 'Saat ini banyak pasir laut yang dipakai sebagai media. Ia bukan pasir dari tepi pantai, tapi diambil dari tengah laut dengan cara membor,' kata Lanny. Yang disebut terakhir memang cocok digunakan sebagai media sansevieria maupun tanaman lain. Pasalnya, ia tak mengandung kadar garam yang tinggi dan pH netral.

Tertarik membuat sansevieria mini? 'Coba saja dengan media apa pun. Prinsipnya, minimkan hara dan tanam di pot kecil,' kata Gembong. Si kerdil pun tak hanya dinikmati di negeri liliput. Menurut Yoe, kecantikan si mungil bisa dinikmati di atas meja, bahkan di samping komputer, di ruang kerja. (Destika Cahyana/Peliput: Nesia Artdiyasa)

http://www.trubus-online.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=7&artid=127