11 Desember 2007

Hibrida Berlabel Jenmanii

Oleh trubuson Sabtu, 01 Desember 2007) Pemilik situs The Exotic Rainforest di Amerika Serikat heran bukan kepalang. Dalam sehari masuk 4-5 kali permintaan Anthurium jenmanii dari hobiis Indonesia sejak setahun terakhir. Sayang, situs itu tak menjual si raja daun. Sebuah nurseri besar di negeri Paman Sam juga mengaku produksi A. jenmanii hingga 2008 sudah dipesan orang Indonesia. Jenmanii menjadi nama populer dan bernilai jual tinggi di jagad tanaman hias Nusantara.

Popularitas A. jenmanii memang luar biasa. Pemilik nurseri dan media massa membandrolnya dengan harga selangit. Ia disebut-sebut sebagai lokomotif anthurium karena mampu mengangkat jenis lain. Sebut saja A. plowmanii alias gelombang cinta yang turut terdongkrak. Gaung kontes anthurium pun bergema hampir tiap bulan.

Namun, benarkah label A. jenmanii pantas disematkan pada jenmanii yang kini mempunyai embel-embel nama belakang? Sebut saja jenmanii kobra, mangkok, king kobra, supernova, dan anakonda. Sekadar contoh, pengalaman penulis menjuri anthurium di Pameran Flora dan Fauna 2007 di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, dapat menjadi pertimbangan. Sejatinya, dari 50 peserta kelas jenmanii, hanya ada 1 tanaman yang betul-betul jenmanii.

Selain itu semuanya tak layak lagi disebut A. jenmanii, karena memang bukan jenmanii. Ia adalah anthurium hibrida yang salah satu indukannya kemungkinan A. jenmanii. Di kalangan pemulia, hibrida yang asal-usulnya tak lagi dapat dirunut disebut mongrel strain. Sebutan itu juga dipakai oleh komunitas pencinta anjing pada anjing yang tak jelas trah-nya, misalnya pada anjing kampung. Ia mendapat konotasi negatif karena pemulia profesional tak lagi memakainya dalam penyilangan selanjutnya.

Tak lazim

Menurut hemat penulis, penamaan anthurium di negeri ini di luar kelaziman tatanama yang berlaku. Pasalnya, suatu tanaman hasil silangan, namanya tak perlu lagi menggunakan nama spesies maupun subspesies dari salah satu indukannya. Walau tak dapat disangkal, boleh jadi keturunan itu lebih baik ketimbang kedua induknya. Nama sebuah hibrida lazimnya diberikan nama yang eksotis atau populer, misalnya A. emerald forest atau A. star ruby. Itu dikaitkan dengan penampilannya yang baru atau dikaitkan dengan nama penyilang maupun orang terkenal.

Publik baru mengetahui nama sang induk, bila penyilang atau pembudidaya bersedia menyebutkan. Penyilang profesional biasanya menyebutkan spesies, subspesies, atau varietas indukannya. Itu pun langka sekali yang bersedia, karena membuka itu sama dengan membeberkan rahasia perusahaan. Pengamat lain hanya bisa berhipotesis soal indukan dari penampilan tanaman.

Contoh yang paling mudah ialah Aglaonema rotundum. Semua mafhum, rotundum ialah indukan yang membawa gen merah dominan. Hampir semua aglaonema hibrida berwarna merah mewarisi darah rotundum. Namun, tidak ada satu pun varietas silangannya yang diberi nama salah satu tanaman induknya. Dua keturunan rotundum yang paling populer ialah aglaonema pride of sumatera dan donna carmen. Ia hanya disebut pride of sumatera dan donna carmen, bukan A. rotundum pride of sumatera dan A. rotundum donna carmen. Itu karena gen pada tanaman itu tak hanya berasal dari A. rotundum.

Memang ada juga pemberian nama populer di samping nama spesies seperti pada sansevieria. Sebut saja pada Sansevieria halii. Dikenal S. halii Baseball Bat, S. halii Baseball Bat variegata, S. halii Blue Bat, dan S. halii Pink Bat. Pun pada kelompok trifasciata, ada S. trifasciata laurentii Twisted Sister dan S. trifasciata laurentii Gold Flame. Namun, sederetan nama itu bukanlah tanaman hasil silangan alias hibrida. Mereka sekadar mutasi dari spesies yang memang kerap terjadi pada lidah mertua. Pemberian nama yang berbeda sekadar membedakan mutasi yang satu dengan yang lain dalam satu spesies.

Tetap sama

Lalu bagaimana A. jenmanii yang asli? Jenmanii yang darahnya belum tercampur anthurium lain kemungkinan datang ke Indonesia pada awal 80-an. Ciri khasnya, apabila sudah cukup umur, sosoknya besar, daun lebar, bertekstur kasar, gampang berbunga, dan banyak menghasilkan biji. Penulis pertama kali mendapatkan biji-biji jenmanii pada awal 80-an dari sahabat pena di Florida. Dari puluhan biji yang disemai hampir semuanya bersosok sama, tak ada yang menunjukkan kelainan signifikan. Itu dari sebuah indukan yang diambil dari habitatnya di Suriname.

Sampai awal 90-an A. jenmanii itu dikembangbiakkan. Ternyata sosok A. jenmanii beserta keturunannya tetap sama hingga generasi ketiga, karena merupakan galur murni. Itu sangat berbeda dengan saat ini, sulit sekali menemukan A. jenmanii. Kerapkali hobiis baru mengeluh karena begitu banyak anthurium yang diakui anakan jenmanii, tapi sama sekali tak menampilkan satu pun ciri yang ada pada jenmanii. Itu karena memang tidak ada darah jenmanii dalam silsilahnya.

Bila demikian, maka sengaja atau tidak, telah terjadi sebuah penipuan dan pembodohan karena informasi tidak lagi mengandung kebenaran bahkan cenderung menyesatkan. Ada 3 hipotesis sebagai biang keladinya. Pertama, segelintir orang mendompleng nama jenmanii-yang tengah naik daun-untuk mendongkrak harga jual anthuriumnya. Kedua, ketidaktahuan pembeli dimanfaatkan penjual, dan terakhir, penjual pun sebetulnya tidak mengetahui. Terjadilah simpang siur informasi yang kian parah karena publikasi media yang jor-joran tanpa konfirmasi pada ahlinya.

Hibrida

Sebagai tanaman hibrida, varian hasil silangan jenmanii dengan beragam nama yang kita kenal belum jelas silsilahnya. Anehnya, pedagang dan hobiis baru berani membeli kecambah jenmanii dengan harga yang menggila, Rp200-ribu-Rp1-juta. Padahal, pengalaman penulis menyilangkan A. jenmanii dengan A. bondplandii subsp guayanum sejak 1990 menghasilkan banyak varian. Dari 100 anakan F1 hanya 3 tanaman yang dipelihara. Anakan F1 lalu disilangkan sesamanya dan dihasilkan 200 anakan F2. Hanya 2 yang tetap dipelihara. Sisanya dimusnahkan.

Tanaman pertama dipilih karena cenderung mengikuti A. jenmanii, tetapi sosok lebih kecil. Tekstur daun sangat nyata, warna daun hijau tua cenderung gelap dan mengkilap. Daun cenderung lebih tebal ketimbang 2 induknya. Tanaman kedua berukuran sama dengan A. bondplandii subsp guayanum, hanya daun lebih lebar, tulang daun nyata, warna hijau kecokelatan, dan pucuk berwarna merah burgundi. Artinya, mendapatkan silangan yang berkualitas sangat sulit. Dari 200 anakan hanya 2 yang berkualitas. Itulah sebabnya, kolektor rela merogoh kocek dalam-dalam.

Artinya, suatu kebodohan bila seorang hobiis berani membeli anakan hanya karena nama besar induknya. Ia hanya berangan-angan memperoleh anakan yang mirip dengan induknya yang hibrida. Pasalnya, kemungkinan itu amatlah kecil karena dalam darah induk mengalir berbagai macam tetua anthurium yang tak jelas lagi runutannya. Padahal, secara teori anakan suatu hibrida hanya akan mirip dengan induknya bila diperbanyak secara vegetatif, misal dengan potong bonggol.

Kini, anakan anthurium hibrida yang dulu dibuang-buang karena dianggap tak prospektif menjadi mesin uang. Dikhawatirkan terjadi kejenuhan pasar secara cepat seperti kasus lou han. Bayangkan, berapa banyak hobiis baru yang kecewa karena telanjur menginvestasikan dana. Sebuah kenyataan pahit yang mesti diterima apa adanya. (Felix Fadjar Marta, pengamat tanaman hias, tinggal di Jakarta)

http://www.trubus-online.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=1&artid=131

2 komentar:

PADI-PADIAN mengatakan...

Selamat berjuang dalam mengembangkan hobbi dan bisnis bung..!

Salam Anthurium,
Padi-padian

SJR mengatakan...

Terimakasih atas supportnya Pak Supadi

Salam
Admin