27 Maret 2008

Sama-sama Untung


Oleh trubusid - Senin, 03 Maret 2008

Rumah tanam di lahan 2.000 m2 di Sawangan, Depok, Jawa Barat, itu disesaki 25.000 pot aglaonema. Dari sanalah 4.500- 6.000 pot anakan dikirim ke berbagai daerah di tanahair setiap bulan. Dengan harga jual Rp75.000- Rp150.000/ pot, Ukay Saputra-sang pemilik-meraup omzet hingga ratusan juta rupiah per bulan.

Ukay memang sengaja membudidayakan jenis-jenis aglaonema berharga murah. 'Pasarnya sangat luas. Saat ini konsumen menginginkan tanaman hias yang cantik dan harganya terjangkau,' katanya. Jenis-jenis seperti pride of sumatera, green legacy, butterfly, dan lady valentine, laris manis di pasaran. Di saat pamor aglaonema meredup tergilas anthurium pada 2007, permintaan aglaonema ke tangan Ukay tetap kencang. Minimal ia menjual 1.500-2.000 pot/bulan.

Namun, bukan berarti jenis-jenis mahal mandek di pasaran. Pada Januari 2008, Tirto Gunawan alias Wiwi menjual 40 pot legacy dengan harga Rp600.000/pot. Widuri siap kontes pun ia lepas dengan harga Rp125-juta. Meski jumlah tanaman yang terjual lebih sedikit dibandingkan Ukay, toh omzet yang diperoleh tak kalah fantastis. Total Rp149-juta. Itulah sebabnya Wiwi tetap membudidayakan jenis-jenis eksklusif.

Usaha budidaya aglaonema jenis-jenis murah maupun mahal sama-sama menjanjikan keuntungan tinggi. 'Tergantung jumlah modal yang dimiliki,' kata Wiwi. Bila membudidayakan jenis-jenis eksklusif perlu modal besar karena harga indukan mahal dan rumah tanam dilengkapi pengaman. 'Tapi tidak memerlukan lahan luas,'ujarnya. Berikut pertimbangan usaha untuk beberapa jenis aglaonema berdasarkan tingkat harga.

Analisis Usaha Aglaonema Jenis Eksklusif
(Studi Kasus Tirto Gunawan, Jakarta Barat)
Asumsi:

  • Jenis aglaonema yang diusahakan adalah tiara.
  • Jangka waktu pengusahaan 1 tahun.
  • Setiap indukan menghasilkan 4 anakan/tahun.
  • Luas lahan usaha 60 m2.
  • Lahan adalah milik sendiri di halaman rumah.
  • Masa ekonomis rumah tanam dan rak 10 tahun.
  • Harga jual tiara Rp3.000.000/tanaman berdaun 3-4 helai.

Kesimpulan:
Bila membudidayakan tiara, pekebun memperoleh laba bila menjual lebih dari 6 tanaman/tahun dengan harga jual Rp3.000.000/tanaman. Bila skala produksi mencapai 200 tanaman/tahun, pekebun memperoleh laba bila menjual dengan harga lebih dari Rp78.950/tanaman. Jika pekebun menjual 200 tiara/tahun dengan harga jual Rp3.000.000/ tanaman, biaya investasi akan kembali dalam kurun 11 bulan.

Analisi Usaha Aglaonema Kelas Menengah
(Studi Kasus Handry Chuhairy, Hans Garden, Tangerang)
Asumsi:

  • Jenis aglaonema yang diusahakan adalah venus.
  • Jangka waktu pengusahaan 1 tahun.
  • Setiap indukan menghasilkan 4 anakan/tahun.
  • Luas lahan usaha 100 m2.
  • Lahan adalah milik sendiri di halaman rumah.
  • Masa ekonomis rumah tanam 10 tahun.
  • Harga jual venus Rp300.000/tanaman berdaun 5-6 helai.

Kesimpulan:
Pekebun venus, memperoleh laba bila menjual lebih dari 73 tanaman/tahun dengan harga jual Rp300.000/tanaman. Bila skala produksi mencapai 1.000 tanaman/tahun, pekebun memperoleh laba bila menjual dengan harga lebih dari Rp21.790/tanaman. Jika pekebun menjual 1.000 venus/tahun dengan harga jual Rp300.000/tanaman, biaya investasi akan kembali dalam kurun 9 bulan.

Analisis Usaha Aglaonema Jenis Murah
(Studi Kasus Ukay Saputra, Rawabelong, Jakarta Barat)
Asumsi:

  • Jenis aglaonema yang diusahakan adalah pride of sumatera.
  • Jangka waktu pengusahaan 1 tahun.
  • Setiap indukan menghasilkan 4 anakan/tahun.
  • Luas lahan usaha 100 m2.
  • Lahan adalah milik sendiri di halaman rumah.
  • Masa ekonomis rumah tanam 10 tahun.
  • Harga jual pride of sumatera Rp100.000/tanaman berdaun 5-6 helai.

Kesimpulan:
Pekebun pride of sumatera, memperoleh laba bila menjual lebih dari 223 tanaman/tahun dengan harga jual Rp100.000/tanaman. Bila skala produksi mencapai 1.000 tanaman/tahun, pekebun memperoleh laba bila menjual dengan harga lebih dari Rp22.290/tanaman. Jika pekebun menjual 1.000 pride of sumatera/tahun dengan harga jual Rp100.000/tanaman, biaya investasi akan kembali dalam kurun 14 bulan.
(Imam Wiguna)

http://www.trubus-online.co.id/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=1&artid=1209

Di antara Banyak Pilihan


Oleh trubusid - Senin, 03 Maret 2008

Betapa masygul hati Haryman. Delapan anakan chao phraya yang masih menyatu dengan induk rontok satu per satu. Daun yang merah cerah tiba-tiba terputus dari batang. 'Daunnya tetap bagus, tapi putus dari batang karena busuk,' keluh dokter umum itu. Alhasil, koleksi chao phraya tak pernah bertambah.

Kisah setali 3 uang dialami Tirto Gunawan alias Wiwi. Juwita kepunyaanya tak pernah kunjung dewasa. Setiap kali daun ke-11 muncul, daun tertua rontok. Jumlah daun ajek 10 helai.

Padahal penampilan silangan Gregori Garnadi Hambali itu menarik: daun kecil dan panjang dengan warna dasar kuning. Chao phraya pun elok dengan bercak kuning keemasan di atas warna merah mengkilap. Makanya aglaonema yang namanya diambil dari nama sungai di Thailand itu pernah jadi jawara kontes tanaman hias di negeri Siam.

Jenis unggul

Menurut Songgo Tjahaja, kolektor di Cengkareng, Jakarta Barat, sri rejeki yang layak dimiliki bila memenuhi syarat sebagai tanaman unggul. Kriterianya penampilan tanaman harus cantik, mudah dirawat, tahan hama dan penyakit, gampang beranak, dan daya adaptasinya bagus.

Penampilan cantik maksudnya punya susunan daun kompak, tangkai daun pendek, daun tidak ngelancir, batang besar, serta warna ngejreng, kontras, dan mengkilap. Sri rejeki dianggap gampang beranak jika setiap memiliki 10-15 daun mulai menghasilkan anak. Ketahanan terhadap hama dan penyakit penting terutama jika tanaman hendak dikembangkan secara massal.

Wiwi menambahkan kriteria ukuran daun besar. 'Besar itu mewah,' ujar pengusaha bengkel itu. Menurutnya, tanaman bagus tapi berukuran kecil, keindahannya kurang terekspos. Untuk menikmati tanaman mini sampai medium mesti dilihat hingga detail-detailnya. Sementara tanaman besar, keindahan dan kemewahannya terlihat dari jauh.

Makanya dari puluhan jenis dan varian anggota famili Araceae itu, hobiis dan pekebun mesti bijak memilih. Jenis-jenis yang sukses diperbanyak massal dan dipasarkan dengan harga ratusan ribu rupiah teruji sebagai tanaman bagus. Contohnya pride of sumatera, snow white, dan lady valentine.

Hal serupa berlaku pada jenis eksklusif. 'Biasanya jenis eksklusif punya karakter istimewa yang membuatnya menonjol dibanding jenis lain,' kata Wiwi. Sebut saja tiara, hot lady, sexy pink, dan legacy. (Evy Syariefa/Peliput: Imam Wiguna, Nesia Artdiyasa, Rosy Nur Apriyanti, & Sardi Duryatmo) http://www.trubus-online.co.id/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=1&artid=1201

Merah Masih Dinanti

Oleh trubusid - Senin, 03 Maret 2008

Senyum lebar menghiasi wajah Junaedi. Dua dari ratusan biji aglaonema yang disemai menghasilkan tanaman berdaun merah. Sisanya, hijau dan hijau bercak putih. Penantian selama 2 tahun pun berujung sukacita.

Kegiatan menyilang Junaedi lakukan sejak akhir 2005. Indukan pembawa warna merah, A. rotundum, didapat dari Gunawan Widjaja, pemilik nurseri tempat Jujun bekerja. Induk itu disilangkan dengan hibrida A. cochinchinense. Sayang data penyilangan luput dicatat. 'Waktu itu asal ada bunga langsung disilang-silangkan,' kata pria 30 tahun itu.

Akibatnya, begitu didapat hasil silangan berwarna merah 2 tahun kemudian, induknya sulit dilacak. Yang pasti menurut Gunawan, sri rejeki baru itu mewarisi darah rotundum dan motif splash cochin. Motif splash dipadu bercak hijau menghias daun berwarna merah muda.

Lama

Jujun bagai mendapat berkah. Untuk mendapat aglaonema berpenampilan istimewa tak mudah dan butuh waktu. Nun di Pancawati, Bogor, 2 tahun sudah dr Purbo Djojokusumo menanti aglaonema baru hasil silangan sendiri. Namun, hingga kini belum ada hasilnya. Biji-biji yang ditebar tak mau tumbuh atau tumbuh lambat berupa seedling 2-3 daun setinggi 5-10 cm.

Menurut Gregori Garnadi Hambali, penyilang kawakan di Bogor, dari 1.000 penyilangan hanya 2% didapat yang benar-benar bagus. Pengalaman Pramote Rojruangsang, penyilang di Thailand, dari 5.000 biji yang ditebar per tahun hanya 10% berwarna merah. Greg Hambali butuh 10 tahun menyilang-nyilangkan A. rotundum dan A. commutatum untuk menghasilkan aglaonema legendaris pride of sumatera.

Toh meski butuh waktu, para penyilang di tanahair dan Thailand terus berupaya menghasilkan jenis-jenis baru. Di kebun Pramote, Andretha Helmina, wartawan Trubus, melihat 2 aglaonema baru. Yang satu berwarna merah dengan motif batik. Lainnya, hijau dengan tulang daun hijau muda kekuningan. Kedua kerabat philodendron itu berumur 5 bulan dari biji. Koleksi lain yang tak kalah cantik milik Satid Srimarksook di Nonthaburi. Motifnya mirip salah satu silangan Pramote, batik. Bedanya, daun aglaonema koleksi Tumb lebih bulat dan lebar.

Nun di Sentul, Bogor, selain aglaonema hasil silangan sendiri, nurseri Wijaya juga mengoleksi hibrida baru asal negeri Gajah Putih. Total ada 15 sri rejeki. Namun, penampilan yang benar-benar beda hanya tampak pada 8 tanaman. Sebut saja aglaonema berwarna kuning kehijauan dengan tulang dan jari-jari daun merah terang, hijau dengan tulang daun merah, dan hijau muda dengan tulang daun merah. Semua hibrida asal negeri Siam itu berumur kurang dari 1 tahun. Meski begitu, penampilannya tetap menarik lantaran ada warna merah. Itulah warna yang membuat senyum terkembang di wajah Junaedi. (Rosy Nur Apriyanti/Peliput: Andretha Helmina)

http://www.trubus-online.co.id/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=1&artid=1200

Yang Kini Tengah Jadi Incaran

Oleh trubuson - Jumat, 01 Februari 2008

Besi terbang itu baru saja mendarat di Bandara Soekarno Hatta, Tangerang. Bagus Harimurti-sebut saja begitu namanya-cepat-cepat turun dari pesawat dan mencari kendaraan menuju kawasan Bumi Serpong Damai. Dari sebuah rumah, kolektor sansevieria itu memborong douglas, coral blue, dan parva.

Pria asal Blitar itu baru saja pulang berjalan-jalan ke nurseri-nurseri di Singapura. 'Tapi saya tidak menemukan yang saya cari,' katanya. Hasil kontak sana-sini akhirnya Bagus bertemu dengan Anna Sylvana, pemain sansevieria di Tangerang.

Dari kediaman Anna, S. masoniana 'douglas', S. kirkii 'coral blue', dan S. parva yang rata-rata berdaun tebal langsung diangkut menuju Blitar. Itu untuk melengkapi koleksi lidah jin di kediaman.

Tebal

Nun di Permatahijau, Jakarta Selatan, Iwan Hendrayanta menyodorkan sepot S. halii 'ping bat' kepada Destika Cahyana dan Evy Syariefa, wartawan Trubus. 'Coba deh pegang. Tebal dan keras sekali ya?' katanya setengah bertanya. Waktu digenggam, daun lidah jin yang didapat Iwan dari Thailand itu memang keras-seperti menggenggam balok kayu. Ketika diukur ketebalan daun mencapai 3 cm. Bandingkan dengan tebal S. kirkii yang hanya 2 mm. Padahal, kirkii termasuk sansevieria berdaun tebal.

Berdekatan dengan halii berjejer S. parva 'stick' yang seperti tongkat kecil atau pensil, S. parva 'congo hyacinth' yang kerap disebut parva airmancur karena komposisi daun mengingatkan pada air mancur, S. masoniana 'kongo' variegata, dan silangan S. kirkii berdaun kehijauan. Semua bertekstur daun keras.

Penelusuran Trubus kepada para pemain lidah jin, kini jenis-jenis berdaun tebal dan keras memang tengah jadi incaran. Para hobiis yang datang ke nurseri Greenery-milik Anna dan Grace Satyadharma-kerap menanyakan S. pinguicula, S. parva, S. kirkii 'coral blue', S. masoniana 'douglas', S. aetopica, S. cylindrica, dan S. sp 'malawi'.

Di Tangerang, banyak yang meminta S. patens, S. suffruticosa, S. 'fernwood', dan S. phillipsiae pada Handhi. Di Yogyakarta, S. masoniana 'giant', S. sordida, dan S. kirkii 'brown' di nurseri milik Andy Solviano Fajar jadi incaran. Sementara di Batu, para kolektor pelanggan Agus Gembong Kartiko mencari S. cylindrica, S. stucky, dan S. erythraeae.

Tak melulu berdaun tebal dan keras, sansevieria incaran itu punya bentuk dan corak warna menarik. S. kirkii berwarna cokelat tanaman mati, S. masoniana lebar dan besar hampir setelapak tangan, sementara S. pinguicula berdaun pendek, tebal-tebal, dan tersusun meroset.

Eksklusif

Si daun tebal kebanyakan masih didatangkan dari mancanegara. Boen Soediono memboyong S. volkensii, S. 'koko', S. 'horwood', S. humiflora, S. halii 'hawaian star', dan S. suffruticosa 'frosty spear' dari Thailand. Pun S. downsii 'chahinian', S. halii 'hawaiian sunset', dan S. 'eghrenbergii'. Iwan Hendrayanta menenteng S. kirkii var kirkii 'superclone' dari Milan, Italia. Sementara Edi Sebayang, kolektor di Tangerang, memesan S. caulescens dan S. pearsonii dari Florida, Amerika Serikat.

Harga lidah jin 'pendatang' itu mahal, rata-rata dibanderol jutaan rupiah. Maklum 'Sulit mendapatkannya karena butuh waktu lama untuk perbanyakan dan jumlahnya pun terbatas,' kata Boen. Beberapa jenis malah kini tidak bisa dibawa masuk ke tanahair. 'Contohnya pinguicula dan juvenil,' tutur Anna. Di negara asal, keduanya tidak lagi diperbolehkan diperdagangkan ke luar negeri.

Toh para penggemar pantang surut mengoleksi. Jenis-jenis berdaun tebal, keras, dan berpenampilan menarik tetap jadi dambaan. (Evy Syariefa/Peliput: Destika Cahyana, Nesia Artdiyasa, dan Lastioro Anmi Tambunan)

http://www.trubus-online.co.id/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=1&artid=1163

Cacah US$1.000

Oleh trubuson - Jumat, 01 Februari 2008

Pernah mencacah uang senilai US$1.000? Konglomerat papan atas pun mungkin enggan mencacah uang yang nilainya setara Rp9,4-juta. Namun, Iwan Hendrayanta, ketua Perhimpunan Florikultura Indonesia (PFI) melakukan perbuatan nekat itu. Setahun silam, ia menyiapkan 10 lembar uang senilai US$100 untuk memenuhi hasratnya melakukan mutilasi.

Cerita itu bermula di Milan, Italia, kala Iwan mengantar keluarganya berlibur ke Eropa. Ia memisahkan diri dari keluarganya dan mampir di sebuah nurseri di kota yang terkenal karena 2 klub sepakbolanya yang mendunia itu. Di sana ia kesengsem sepot Sansevieria kirkii 'douglas' yang warnanya agak kebiruan. Sayang, sang pemilik hanya mau menyerahkan anakan 1 daun sepanjang 1 m dengan harga US$1.000. 'Saya betul-betul kesengsem karena langka, tapi tak sempat menawar. Jadi, 10 lembar itu saya serahkan,' katanya.

Di tanahair lidah naga yang lebih mirip tongkat itu dipulihkan dengan tak sabar selama sebulan. Setelah itu, ia menyiapkan pisau tajamnya. Dan, sreeb! Logam mengkilap itu memotong daun itu menjadi 15 bagian. Uang yang setara dengan sebuah laptop kelas menengah itu menjadi potongan kecil. Iwan disebut nekat karena ia belum mengenal karakter douglas.

Benar saja, potongan berukuran 5 cm itu baru memunculkan akar 6 bulan kemudian. 'Meski sudah keluar akar, belum tentu hidup,' katanya. Namun, rupanya ada yang lebih 'gila' dari Iwan. Agustus 2007 lalu seorang kolektor dari Jepang membeli 6 potongan itu seharga Rp6-juta. Artinya, sepotong daun berukuran 5 cm yang tak jelas bakal bertahan hidup laku Rp1-juta. (Destika Cahyana/Peliput: Evy Syariefa)

http://www.trubus-online.co.id/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=1&artid=1165

Booming Sansevieria!

Oleh trubuson Jumat, 01 Februari 2008

Suatu sore hari di medio November 2007. Sebuah gerai di pameran Trubus Agro Expo 2007 ramai oleh pengunjung. Ratusan pot sansevieria: gold flame, california, dan pagoda yang terpajang di ruangan berukuran 4 m x 6 m jadi perhatian utama. Di penghujung pameran selama 10 hari, Harry Sugianto, pemilik stan, menuai omzet Rp50-juta dari penjualan 500 pot sansevieria.

Nominal sebesar itu tak pernah terbayangkan sebelumnya. Maklum, Harry tergolong 'anak bawang'. Pensiunan perusahaan alat berat itu baru terjun di bisnis lidah mertua pada Maret 2007. Ketika itu ia nekat ikut pameran pertama kali di Museum Purna Bhakti Pertiwi, Jakarta Timur. Nekat? Ya, ketika itu dunia tanaman hias tengah 'dikuasai' anthurium, si raja daun. Harry kukuh pada pendirian dengan memajang 1 jenis tanaman: sansevieria. 'Waktu itu omzetnya hanya Rp15-juta. Saya betul-betul tak menyangka omzet berlipat 3 kali dalam hitungan bulan,' katanya.

Kini Harry membuka greenhouse di bilangan Lido, Bogor, seluas 500 m2. Itu untuk menampung jenis cylindrica, giant, dan canaliculata. Ketiganya tergolong berdaun tebal. Maklum, sejak sebulan terakhir permintaan yang masuk jenis berdaun tebal, bulat, dan kering yang disukai karena bandel dan tahan banting.

Eksklusif

Wajah baru yang juga ketiban rezeki lidah jin ialah Heroe Pramono di Surabaya. General manajer sebuah perusahaan bahan bangunan itu terjun ke bisnis sansevieria pada Juni 2007. Pada penghujung 2007 Heroe menjual 100 pot lidah mertua per bulan. Jenis yang diburu pelanggan, S. zaelani australian black spot, gold flame, twister, dan patula. Heroe meraup omzet Rp7,5-juta-Rp10-juta per bulan. Manisnya sansevieria juga dirasakan Nanang Prasojo di Yogyakarta.

Sukses 3 pendatang baru di bisnis sanseveria itu bukan tanpa sebab. Penelusuran Trubus ke berbagai daerah, bisnis sansevieria memang tengah menggeliat. 'Sejak 3 bulan silam pasar sansevieria mulai bergerak,' kata Iwan Hendrayanta, ketua Perhimpunan Florikultura Indonesia. Ia merujuk pada pendapatan di nurserinya Rp32-juta per bulan sejak 3 bulan silam. Beberapa pemain fanatik menyebut pergerakan pasar sansevieria sejak setahun silam. Itu terutama untuk jenis eksklusif.

Menurut Agus Mulyadi, pemain sansevieria di Solo, lidah naga disebut eksklusif bila bersosok cantik, langka, dan pertumbuhan lambat. Tiga syarat itu menyebabkan sansevieria eksklusif dibandrol selangit, Rp500-ribu-Rp60-juta per pot. Djumiati Aris Budiman, pemilik nurseri Watuputih, Yogyakarta memberi syarat tambahan. 'Tanaman biasa bisa jadi eksklusif bila mengalami mutasi,' katanya. Sebut saja jenis giant alias masoniana. Tanpa mutasi harganya Rp50-ribu-Rp100-ribu per daun. Namun, giant variegata putih Rp7,5-juta per daun. Giant variegata golden (kuning, red) dibandrol Rp5-juta per daun (baca: Harga Selangit Sanse Variegata, hal 22-24).

Definisi lebih lunak diberikan Soedjianto, pemain di Wonosobo. 'Yang disebut eksklusif semua jenis sansevieria nonlaurentii dan hahnii,' tuturnya. Harganya mulai Rp50-ribu per pot hingga puluhan juta rupiah. Toh, bukan berarti semua lidah naga sekelompok S. trifasciata laurentii dan hahnii tergolong murahan. California yang dibandrol Rp1-juta per pot berdaun 3-4; gold flame Rp250-ribu-Rp1- juta per pot. Golden wendy-sekelompok dengan hahnii-Rp750-ribu-Rp2,5-juta per pot.

Momentum

Bukan tanpa alasan jika kini sansevieria berkibar. 'Harga anthurium sudah tidak masuk akal. Jadi, pemain tanaman hias mencari tanaman lain yang bisa diangkat dengan harga rasional. Sansevieria memenuhi syarat itu,' ujar Iwan.

Harga lidah naga memang terjangkau. 'Ia mengalami kenaikan, tapi bertahap. Tidak sedrastis raja daun,' kata Willy Poernawan, ketua Masyarakat Sansevieria Indonesia (MSI), di Yogyakarta. Sebut saja S. kirkii var. pulchra 'coppertone.' Pada awal 2007 harga 3-4 daun dengan bentangan 20 cm Rp250-ribu. Pertengahan tahun menjadi Rp350-ribu-Rp450-ribu, dan di penghujung tahun Rp750-ribu.

Kenaikan harga yang cenderung bertahap itu membuat pemain mudah memprediksi pasar. 'Pergerakan harga mudah dipantau, harga di mancanegara diketahui persis melalui internet,' ujar Harry. Itulah salah satu alasan Harry nekat bermain sansevieria. Artinya, di bisnis sansevieria, pemula sekalipun tak akan merasa tertipu membeli dengan harga tinggi.

Informasi yang serba terbuka di dunia sansevieria menjadi antitesis bagi orang yang menganggap harga di dunia tanaman hias rawan goreng-menggoreng.

Penuhi 7 syarat

Djumiati menambahkan 7 syarat yang mesti dimiliki tanaman agar bisa diterima masyarakat dan menjadi tren. Tiga syarat pertama berhubungan dengan estetika: cantik, variasi bentuk beragam, dan variasi warna tinggi. 'Sebetulnya dengan 3 syarat itu, sebuah tanaman pasti disukai hobiis, tapi tak cukup kuat untuk menjadi tren yang panjang,' kata Mimi, sapaan Djumiati.

Tiga syarat lain berkaitan dengan penanganan: perawatan mudah, tingkat perbanyakan sedang, dan pertumbuhan lambat. 'Bila tanaman mudah dirawat, biaya perawatan rendah, hobiis dan pemula gampang tertarik. Koleksi tanaman tak akan mengganggu rutinitas sehari-hari,' ujarnya. Dua sifat yang disebut terakhir disukai produsen dan pedagang. Bila tanaman terlalu mudah diperbanyak, kejenuhan pasar gampang terjadi. Pertumbuhan lambat membuat periodisasi sebuah tren panjang.

Syarat terakhir tergolong tambahan, tapi berperan penting mempengaruhi publik. Tanaman mesti mempunyai nilai guna selain nilai estetika. Sansevieria bersifat antipolutan dan antiradiasi. Itu sejalan dengan penelitian yang dilakukan Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA). Hasil penelitian selama 25 tahun menyebut lidah mertua mampu menyerap 107 polutan udara. Jadi, semua syarat untuk jadi tren itu terpenuhi oleh lidah naga.

Siklus berulang

Sejatinya, tren sansevieria di tanahair bukan kali pertama. Pada 2004-2005, dunia tanaman hias dikejutkan dengan maraknya orang mengebunkan S. laurentii. Kala itu importir dari Korea bergerilya langsung ke pelosok Pulau Jawa untuk mencari kerabat agave itu. Kawasan Bopuncur (Bogor, Puncak, dan Cianjur) di Jawa Barat dan Malang, di Jawa Timur, pun berubah menjadi sentra laurentii. Saking populernya laurentii, tanaman pagar itu menjadi incaran maling.

Sayang, perniagaan ekspor terhenti pada 2005. 'Semua kebun terkena serangan busuk daun karena bakteri Erwinia sp,' kata Anna Sylvana, eksportir sansevieria. Laurentii rentan penyakit tersebut. Hingga 2007 hanya 2 eksportir bertahan: di Yogyakarta dan Malang. Namun, penelusuran terakhir di penghujung 2007, eksportir di Yogyakarta pun gulung tikar.

Menurut Anna tren pada 2004-2005 itu sebetulnya putaran kedua. Pertama kali laurentii dikirim ke mancanegara dimulai pada 2000. Ketika itu nurseri Greenery mendapat permintaan langsung dari Jepang. Ketika itu negeri Sakura itu tengah getol mengkampanyekan sansevieria sebagai antipolusi. 'Hasil penelitian NASA sebetulnya menyebut 10 tanaman penyerap polusi,' tutur Anna. Tanaman lain kurang gaungnya karena berupa tanaman bunga, krisan, yang umurnya pendek. Atau tanaman daun: phylodendron, aglaonema, dan spatiphylum yang lebih cocok untuk indoor. Lidah mertua cocok untuk indoor dan outdoor.

Ketika kegiatan ekspor terhenti, pasar lokal justru terbuka. Namun, jenis yang diminati hobiis lokal bukan laurentii. Yang dicari jenis-jenis berdaun tebal dan bulat. Sebut saja cylindrica, suffruticosa, dan ehrenbergii. Maklum, informasi sansevieria sebagai tanaman antipolusi kian menyebar.

Laju impor

Peluang itu ditangkap para importir tanaman hias. Boen Soediono di Jakarta menjelajahi Thailand. 'Di sana ada 3-4 nurseri yang khusus menyediakan sansevieria,' kata pemilik nurseri Bloemfield itu. Dari perjalanan 4 kali sepanjang 2007 ia membawa 10 jenis baru yang tergolong langka. Antara lain volkensii, koko, horwood, humiflora, hawaiian star, dan suffruticosa 'frosty spears'. Begitu sampai di tanahair, tanaman langsung berpindah tangan.

Menurut Boen sebetulnya lidah mertua impor masuk pertama kali ke tanahair pada 1980 melalui kolektor asal Belanda. Sayang, jumlahnya sangat terbatas sehingga tidak sempat tren. Jenis yang masuk: coral blue dan douglas. Di Wonosobo, coral blue dan douglas ditanam oleh ekspatriat asal Amerika bernama Jack E Craig pada 90-an sebagai elemen taman.

Importir lain, Handhi, mendatangkan lidah jin dari Thailand setiap 2 bulan sejak 2 tahun silam. Jenis yang dibawa twister tsunami. Dalam waktu 6 bulan 50 pot lidah naga setinggi 15 cm dan berdaun 7-8 itu laku dengan harga Rp1-juta per pot. Sejak 4 bulan silam, volume penjualan meningkat menjadi 100 pot per bulan. Jenisnya tak melulu twister, tapi juga patens, suffruticosa, fernwood, dan phillipsiae.

Kehadiran jenis baru dipercaya ikut mendongkrak tren sansevieria. Sejak 3 bulan terakhir omzet nurseri Watuputih dari sansevieria mencapai Rp100-juta per bulan. Yang paling banyak dicari-mencapai 50% volume penjualan-sansevieria berharga Rp500-ribu-Rp1-juta. Semua tanaman didatangkan dari Thailand.

Kerikil tajam

Namun, bila tergiur bisnis sansevieria, bersiaplah melewati jalan terjal dan berliku. Pada awal 2007, Sarjianto bersama seorang rekan mencacah indukan giant, pinguicula, dan kenya yasin untuk perbanyakan. Enam bulan kemudian saat anakan itu siap dijual permintaan lidah jin nol. 'Selama 3 bulan pasar mandek,' kata pria asal Yogyakarta itu. Padahal, ia berharap meraup omzet minimal Rp20-juta per bulan. Kenyataan, pendapatan ketika itu hanya Rp2-juta per bulan.

Batu sandungan lain, salah penanganan. Sebuah samurai asal Thailand yang dibeli Mimi seharga Rp15-juta pada kuartal awal 2007 semula tampak gagah. Namun, begitu di-repotting, sansevieria itu stres. 'Daun jadi meliuk-liuk karena salah pengemasan saat diimpor. Hingga kini lidah naga itu teronggok di pojokan rumah plastik miliknya.

Penyakit busuk daun tetap jadi momok, terutama untuk jenis laurentii dan hahnii. Hanya dalam hitungan minggu, kebun laurentii dan moonshine untuk ekspor seluas 8 ha milik Greenery luluh-lantak diterjang Erwinia sp. Kini pasar yang dikuasai Indonesia diambil alih oleh Vietnam dan Birma.

Kendala lain, pencurian. Seorang hobiis di Sawangan, Depok, hanya bisa terpekur lesu. Sebanyak 180 jenis sansevieria asal Perancis yang baru datang digondol maling. Padahal, banyak jenis yang mutasi.

Semarak kontes

Toh, segudang kendala itu tak menyurutkan semangat para pemain. 'Untuk penanaman di lahan luas memang tidak menguntungkan. Tapi, pembudidayaan sebagai tanaman pot tetap prospektif,' kata Lanny Lingga di Bogor. Konsumen sansevieria dalam pot adalah hobiis di tanahair.Sebagai contoh, sejak 3 bulan terakhir superba, superba futura, dan tiger yang dipotkan Liling Watiasita di Yogyakarta laris manis. 'Permintaan pot plant meningkat 30%,' katanya.

Geliat bisnis lidah jin pun didukung maraknya kontes di berbagai daerah. Pada Januari 2008 tercatat 2 kabupaten menggelar kontes: Blora dan Banyumas. Bahkan, Blora kini dicanangkan sebagai kota sansevieria oleh sang bupati, Drs RM Yudhi Sancoyo, MM. Di penghujung 2007, ajang serupa digelar di Surabaya dan Yogyakarta.

Sebulan sebelumnya di Jakarta dan Yogyakarta. 'Sejak 6 bulan terakhir hampir tiap bulan digelar 2 kontes. Peserta berlimpah, mulai 50 hingga tembus 102 peserta,' kata Willy. Bandingkan dengan 2005, saat itu kontes lidah mertua hanya sekali digelar. Sepanjang 2006 hingga April 2007 kontes sansevieria hanya 4 kali.

Frekuensi kontes yang meningkat seiring dengan munculnya komunitas pencinta sansevieria. Di Yogyakarta ada: Masyarakat Sansevieria Indonesia alias MSI. Kini cabang-cabang MSI berdiri di berbagai daerah. Sebut saja Klaten, Solo, Wonosobo, Blora, Tulungagung, Surabaya, dan Ngawi.

Pergerakan tren pun tertangkap di luar Jawa. Wartawan Trubus, Syah Angkasa, melihat pameran di Padang mulai diramaikan lidah naga. Pun di Lampung, Palembang, Medan, dan Bali. Keriuhan lidah jin itu melahirkan kolektor-kolektor tulen.

'Mempunyai sansevieria ibarat mengoleksi lukisan pelukis terkenal. Tak semua yang punya uang bisa memiliki. Jumlahnya terbatas sehingga eksklusif,' kata Michael, kolektor di Semarang. Itulah peluang yang ditangkap orang-orang seperti Harry dan Heroe. (Destika Cahyana/Peliput: Andretha Helmina, A. Arie Raharjo, Dian Adijaya, Evy Syariefa, Imam Wiguna, Kiki Rizkika, Lastioro Anmi Tambunan, Nesia Artdiyasa, Rosy N Apriyanti, dan Syah Angkasa)
http://www.trubus-online.co.id/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=1&artid=1166

Kabar dari Negeri Siam

Oleh trubusid - Senin, 03 Maret 2008

Pot-pot anthurium yang dipajang di stan-stan pada pameran Suan Luang, Bangkok, Thailand, pada 2007 terlihat mencolok. Hampir 1/3 dari 300 stan memajang laceleave itu. Itu kontras dengan suasana Suan Luang pada 2006. Waktu itu anthurium nyaris tak terlihat. Aglaonema, adenium, dan caladium yang mendominasi.

Kondisi Suang Luang pada penghujung 2007 itu bagai cermin bisnis aglaonema di Thailand yang sedang lesu. Sebagai contoh, stan Pramote Rojruangsang pada 2006 setengahnya berisi aglaonema. Pada 2007 justru lebih banyak sansevieria. Kondisi serupa terlihat di nurserinya yang terletak di Pathumthani.

Tiga tahun silam banyak pembeli asal Indonesia datang mencari sri rejeki silangan baru. Namun, sejak setahun lalu jumlah pembeli merosot. Penjualan aglaonema di nurseri Unyamanee Garden mengalami penurunan sebesar 20-30%. 'Untuk jenis baru bisa dikatakan berhenti sama sekali,' kata Piya Subhaya Achin, kakak ipar Jiew.

Itu sangat berbeda ketika aglaonema tren pada 2005-2006. Banyak pemain tanaman hias lain, seperti puring, euphorbia, anggrek, kembang sepatu, dan adenium, beralih profesi menjadi pekebun sri rejeki karena aglaonema dicari.

Terbesar

Kondisi aglaonema yang lesu di negeri Gajah Putih diamini Surawit Wannakrairoj, PhD, associate professor Departemen Hortikultura Universitas Kasetsart. Pemain tanaman hias Indonesia yang keranjingan anthurium diduga salah satu penyebab. Para importir yang dulunya membawa aglaonema banyak beralih ke raja daun. Sebut saja dr Darwis Nasution di Jakarta, Adil Barus, dan Gustian Daniel di Medan. 'Saat itu (anthurium ngetren di tanahair, red) impor aglaonema drop 80-90%,' ujar Gunawan Widjaja di Sentul, Bogor.

Indonesia memang memiliki pengaruh sangat besar terhadap bisnis tanaman hias di Thailand. Maklum, Indonesia merupakan pasar terbesar. 'Sekitar 80-90% pasar tanaman hias Thailand adalah Indonesia,' kata Prempree Na Songkhla, editor majalah pertanian Kehakankaset di Bangkok. Pembeli tanahair pun berani membayar dengan harga tinggi. Beda dengan negara lain. 'Pembeli dari Cina hanya berani membeli jenis berharga murah,' tambah Prempree. Kegemaran orang Thailand terhadap tanaman hias pun tak segila orang Indonesia.

Meski volume penjualan turun, pemain aglaonema tulen tidak buru-buru membanting setir menggeluti tanaman hias lain. Berbeda dengan kondisi di tanahair. Begitu tren salah satu tanaman hias turun, pemain-terutama yang dadakan-berbondong-bondong menjual dengan harga murah asal kembali modal. Pemain di Thailand justru memanfaatkan turunnya tren untuk kegiatan perbanyakan.

Kembangkan usaha

Trik seperti itu yang dilakukan Pairoj Tianchai di Bangkok. Saat pasar sri rejeki turun, ia malah melipatgandakan jumlah tanaman. Perluasan kebun pun dilakukan untuk menampung anakan. Pekebun Thailand yakin masyarakat Indonesia akan kembali membeli aglaonema.

Jiew berupaya mengembangkan pasar baru ke Amerika Serikat, Eropa, dan negara lain di Asia. Namun, ternyata tak mudah. Makanya pekebun dan pedagang aglaonema di Thailand berharap pasar Indonesia kembali terbuka.

Belakangan mereka mulai bernapas lega. 'Tiga bulan terakhir pasar aglaonema kembali populer,' kata Surawit. Namun, volume dan harga turun dibandingkan 2-3 tahun lalu. 'Dulu harga tinggi lantaran permintaan dari Indonesia sangat banyak sedangkan barang terbatas,' ujar Prempree. Kini, banyak nurseri dan laboratorium di Thailand memperbanyak aglaonema dengan cutting maupun kultur jaringan. Populasi meningkat, harga pun turun.

Volume impor juga berkurang karena pekebun di tanahair mulai memperbanyak anggota famili Araceae itu. Sebut saja Ukay Saputra di Sawangan, Depok. Tiga tahun silam aglaonema pemilik nurseri Anisa Flora itu 100% tanaman impor. Kini tanaman yang dijual hasil budidaya sendiri.

Selain harga turun, jenis yang diminta pasar juga mengalami pergeseran. 'Tiga tahun silam pembeli banyak yang mengejar jenis baru, tapi sekarang yang berjalan adalah aglaonema dengan harga murah,' tutur Pic. Sebut saja dud unyamanee, siam aurora, pride of sumatera, dan snow white. 'Karena itu yang diminta konsumen,' kata Melati Tarigan, istri Adil Barus. Maka kemana bisnis tanaman hias Indonesia berembus, ke sanalah pekebun Thailand berkiblat. (Rosy Nur Apriyanti)
http://www.trubus-online.co.id/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=1&artid=1208

Setelah Jenuh dengan Anthurium

04 December 2007
Tanaman hias yang diduga bakal tren pada 2008 adalah tanaman yang memiliki keunggulan lebih, baik daun maupun bunganya. Plus tersedia cukup di pasar dan mudah diperbanyak.

Tak dapat dipungkiri, dahsyatnya harga Anthurium berhasil memunculkan fenomena hebat yang menggoda semua kalangan. Bukan hanya petani atau breeder saja yang tergila-gila, para pecinta tanaman hias, kolektor, sampai birokrat dan pemula pun banyak yang terbius. Tanaman berbilang 1.000-an jenis ini seolah menjadi sihir baru yang mampu mengubah perilaku banyak orang yang sebelumnya tidak punya ketertarikan sama sekali terhadap tanaman hias.

Dalam percaturan jual beli Anthurium daun ini memunculkan pula para spekulan, tengkulak, importir, dan mafia. Tampaknya, akal sehat dan rasional tak lagi berlaku dalam bisnis si Anthurium ini.

Tengok saja dalam pameran tanaman hias atau di internet, banyak nurseri yang memasang harga mulai Rp10.000 (bibit) sampai ratusan juta rupiah (indukan). Atau di beberapa nurseri di Jateng, ada yang memasang banderol untuk indukan Anthurium Wave of Love alias gelombang cinta, misalnya, Rp400 juta—Rp500 juta, dan diikuti embel-embel bertuliskan “sudah dipesan orang”. Ada juga indukan Anthurium jenmanii cobra yang ditawarkan Rp150 juta. Bahkan disebut-sebut ada yang harganya spektakuler, Rp1 miliar! Walaupun kebenaran dari traksasi itu sulit dibuktikan. “Itu pembodohan publik. Transaksi itu tidak ada dan pembelinya pun tidak ada,” ungkap Greg Hambali, pakar tanaman hias dari Bogor, Jabar. Itulah, lanjut penyilang tanaman hias kawakan ini, manipulasi-manipulasi yang dilakukan pedagang sehingga banyak orang semakin tergiur.

Kendati begitu, sampai sekarang demam Anturium masih terus berlangsung. “Meski harganya menggila, setiap hari ada saja orang yang mencari, membeli dan menjual Anthurium,” ungkap Kurniawan Junaedhie, pemilik Toekang Keboen Nursery di Bumi Serpong Damai, Tangerang, Banten.

Tidak Langgeng

Tampaknya masyarakat kita mempunyai selera unik menyangkut tanaman hias. Era 1970-an, bunga nusa indah menjadi primadona. Kala itu, hampir tidak ada halaman rumah di kota-kota besar yang tidak memajang tanaman karena dianggap melambangkan kesejahteraan pemiliknya itu.

Masuk periode 1980-an, selera masyarakat beralih pada bunga kertas (bugenvil). Tanaman dengan bunga warna-warni tersebut, waktu itu banyak ditanam di pekarangan rumah. Satu dekade kemudian, berkembang jenis tanaman hias untuk lansekap atau taman, terutama jenis palem-paleman, seperti palem botol, palem raja, dan ekor tupai. Tahun itu juga diwarnai tren tanaman peneduh, seperti kamboja dan cemara udang dengan bentuk semi bonsai. Saat ngetren, banyak orang yang berburu bonggol cemara udang sampai ke hutan.

Memasuki tahun 2000-an, tren tanaman hias cepat berganti. Berawal dari Adenium, Aglaonema, sampai demam Anturium. Sempat juga muncul beberapa jenis tanaman lain seperti Euforbia, Philodendron, Pachypodium, dan Sanseviera.

Di tengah masih berlangsungnya kegilaan terhadap Anthurium, kini banyak orang sudah bertanya-tanya, tanaman apa lagi yang bakal naik daun tahun depan? Para pelaku bisnis tanaman hias baru bisa menduga, tanaman yang bakal jadi tren tentulah yang punya sifat-sifat mirip Anthurium, Adenium, dan Aglaonema.

Sedikitnya Ada Tiga

Menurut Greg, tanaman yang bakal tren adalah tanaman yang mempunyai keindahan serta kecantikan pada daun dan bunganya. Namun tanaman seperti itu juga harus mudah didapatkan di pasar dan persediaannya cukup.

Hal senada diutarakan Kurniawan, “Tanaman yang akan ngetren itu adalah tanaman yang mudah dipelihara dan mudah diperbanyak. Tentunya hasil perbanyakannya harus bisa menghasilkan variasi baru yang lebih bagus dan unik dari sebelumnya, sama halnya dengan yang terjadi pada Anthurium, Aglaonema, dan Adenium.”

F. Rahardi, Ketua Forum Kerjasama Agribisnis (FKA), berpendapat, suatu komoditas baru akan sulit untuk tiba-tiba melejit tinggi. Oleh sebab itu, lanjut pemerhati agribisnis ini, pamor Aglaonema dan Adenium bakal naik lagi.

Pendapat serupa disampaikan H.Irwansyah Tanjung, pemilik Nurseri Roemah Daun di Jakarta. Menurut dia, salah satu tanaman hias yang bakal jadi tren pada 2008 adalah Aglaonema, di luar Sanseviera. “Sampai saat ini, Aglaonema belum diupayakan maksimal. Persoalannya, bagaimana Aglaonema membagi pasarnya untuk kelas bawah, tengah, dan atas,” urainya. Sementara Sanseviera, imbuhnya, mempunyai keunggulan tersendiri, selain mempesona juga mampu menyerap polusi, sehingga bisa menarik minat konsumen. “Di luar itu, Anthurium, khususnya jenmanii akan tetap bertahan,” tandas Irwansyah (baca juga: Anthurium Bakal Nyunsep?)

Sementara Sugeng Haryono, Ketua Gabungan Kelompok Tani Tanaman Hias Sekar Indah, di Batu, Malang, Jatim, berpendapat lain. “Selain Aglaonema dan Sanseviera, tanaman hias yang bakal banyak diminati tahun depan, khususnya di Jatim, adalah anggrek, Philodendron, dan palem-paleman,” ucapnya.

Anggrek, menurut Sugeng, akan tren karena minat konsumen maupun pedagang sudah jenuh dengan jenis Anthurium. Soalnya, sepanjang 2006—2007 harga Anthurium sudah di luar jangkauan akal sehat. Ia juga menambahkan, kemungkinan masyarakat konsumen atau hobiis akan beralih pandangan, dari yang tadinya hanya jenis daun-daunan hijau, pada 2008 mereka akan lebih memilih jenis tanaman hias yang berbunga dan bunganya bisa dinikmati lama. “Dan itu hanya dimiliki anggrek,” jelasnya.

Sedangkan Philodendron dan Aglaonema, masih menurut Sugeng, akan kembali mencuat lantaran keistimewaan daunnya. Selain berwarna-warni, bentuk daun, khususnya Philodendron, pun banyak variasinya. Pun palem-paleman akan diminati karena tidak perlu perawatan ekstra. Di samping itu, kota-kota besar seperti Denpasar, Surabaya, Malang, dan Jakarta sedang gencar membangun taman baik di perumahan maupun peremajaan taman-taman kota, sehingga palem akan dibutuhkan. Semantara itu, Sanseviera akan banyak dibutuhkan untuk penghias ruangan ber-AC sekaligus pembersih udara.

Menggiurkan

Tentu semakin banyak tanaman hias yang diminati konsumen, akan semakin besar pula peluang pengembangan usahanya. Memang untuk Anthurium, karena harganya kelewat tinggi, pasarnya terkesan eksklusif, sehingga pasarnya sangat terbatas. Tapi di luar itu, masih banyak tanaman hias yang harganya lebih terjangkau, sehingga bisa dibuat massal. Pasarnya pun tidak terbatas di dalam negeri, tapi juga ekspor.

“Lebih baik kita mengembangkan industri tanaman hias yang massal karena pangsa pasarnya besar,” papar Ir. Agus Wediyanto, MSc., Direktur Tanaman Hias, Ditjen Hortikultura, Deptan. Perkembangan masyarakat penggemar tanaman hias, lanjut dia, kini kian tumbuh di semua provinsi. Total omzet dari bisnis bisnis tanaman di 18 provinsi mencapai US$10 juta/tahun.

Lebih jauh Agus mengemukakan, pengembangan tanaman hias di tanah air sangat dipengaruhi oleh bisnis tanaman hias secara global. Sebagai gambaran, pada 1985 pasar tanaman hias dunia baru senilai US$19 miliar. Sepuluh tahun kemudian meningkat menjadi US$30 miliar. Kurun 2005—2006 meningkat lagi menjadi US$62 miliar. Dan pada 2006—2007 diperkirakan akan mencapai US$92 miliar.

Data tersebut menunjukkan peningkatan tren sangat tajam. Karena itu perdagangan tanaman hias di dalam negeri pun cukup baik. Berdasarkan catatan BPS, Produk Domestik Bruto (PDB) tahun lalu dari tanaman hias sudah mencapai Rp4,9 triliun. Sementara nilai ekspornya sendiri rata-rata US$12 juta/tahun. Sekitar 75% ekspor didominasi tanaman tropis, sisanya anggrek. “Permintaan dunia terutama datang dari negara-negara di Eropa dan Asia,” ucap Agus.

Kebutuhan pasar dalam negeri pun, masih menurut Agus, cukup besar. Untuk bunga anggrek misalnya, kebutuhan mencapai 50.000 tangkai/tahun. Tapi sayang, petani baru mampu memproduksi 20.000 tangkai. Jadi, peluang usaha di tanaman hias itu masih terbuka lebar. (Dadang WI, Tri Mardi, Yan Suhendar, Selamet R., Tri Agus (Malang)

Tiga Calon Pesohor

Ditempatkan dalam ruangan atau taman, tanaman hias tetap menarik, cantik, dan mempesona. Tak sebatas itu, dengan pemilihan dan penempatan yang pas, tanaman hias mampu memberikan elemen penting di sudut rumah.

Menurut para pemerhati, hobiis, dan pelaku usaha, sedikitnya ada tiga jenis tanaman hias yang bakal tren pada 2008.

1. Adenium

Adenium atau kamboja Jepang, memikat para penggemar tanaman hias karena variasi warna bunganya kaya dan indah. Ditambah lagi bentuk akarnya yang membesar membentuk bonggol. Inilah yang membuat sosoknya jadi unik dan bernilai seni tinggi, mirip bonsai, sehingga membius para penyinta.

Bila selama ini Adenium populer dengan beragam jenis dan warna bunganya, kini muncul lagi jenis silangan baru. Bukan hanya bonggol Adenium obesum yang bakal diincar konsumen, tetapi sosok yang benar-benar mirip bonsai, yaitu A. arabicum dan A. socotranum. Belakangan ini, Arabicum makin dicari konsumen, meski harga bijinya hampir 10 kali lipat Obesum.

Jenis yang juga diperkirakan akan menjadi tren masa depan yakni Soco hibrida. Sosoknya amat bagus. Bonggol besar kokoh, berwarna putih perak dengan cabang-cabang yang juga kokoh. Secara alami, Soco hibrida memiliki sosok yang sudah layak disebut bonsai. Tak heran di beberapa lomba, Soco masuk dalam kelas tersendiri yakni Arabicum hibrida.

2. Aglaonema

Keindahan Aglaonema terletak pada warna dan corak daun yang aduhai. Warna dan corak daunnya berwarna-warni, ada yang hijau, putih, kuning, orannye, merah, tembaga, cokelat, dan keemasan. Daya tahan daun bisa 2—4 bulan, sebelum menguning dan rontok.

Di Indonesia, Aglaonema yang memiliki sekitar 30 spesies ini, lebih dikenal dengan sebutan “Sri Rejeki”. Tanaman dari suku Araceae (talas-talasan) ini sudah sejak lama populer. Varian Aglaonema yang kini populer di dunia antara lain Pride of Sumatera-peraih juara II kategori tanaman hias indoor pada ajang Floriade di Belanda, dan Ruby Sunset yang menyabet gelar Favorit Tanaman Baru di arena Tropical Plant Industry Exhibtion 2007 di Miami, Florida, Amerika Serikat. Kedua varian ini hasil silangan Greg Hambali yang asli Indonesia.

3. Sansiviera

Jenis Sansiviera terdapat 60 spesies. Pesona tanaman hias berdaun seperti pedang, meruncing, ini tak kalah menarik dibanding tanaman hias daun lainnya. Keunggulan Sansiviera lainnya adalah kemampuannya dalam menyerap polusi. Wajar bila Sasiviera banyak diminati untuk kemudian ditaruh di pojok ruang kantor atau rumah. Bahkan, si “Lidah Mertua” ini kerap ditaruh di sudut dapur atau kamar mandi untuk meredam bau.(DadangWI)

http://www.agrina-online.com/show_article.php?rid=7&aid=1127