03 Desember 2007

Anthurium Pendatang dari Negeri Seberang


Oleh trubuson - Sabtu, 01 Desember 2007

Imigran asal Filipina itu akhirnya tiba di kawasan Kaliurang, Yogyakarta, pada akhir September 2007. Dengan 4 daun berbentuk seperti gunungan pada pentas wayang, penampilannya beda dengan 'saudara-saudaranya' yang ada di Indonesia. Kini, Anthurium ramonii-pendatang itu-tengah memulihkan diri di dinginnya udara Kaliurang.

Anthurium ramonii tidak sendiri. Sebulan berselang, 2 pot Anthurium weberbourii dan sepot A. longifolia menemani. Dua jenis terakhir juga didatangkan dari negeri tetangga. 'Ini spesies-spesies dari Filipina,' tutur Aris Budiman, si empunya tanaman. Spesies longifolia-seperti namanya-berdaun lanset dan memanjang. Penampilannya mirip bilah-bilah pedang berwarna hijau. Sementara bentuk daun weberbourii mirip keris, tapi bagian pangkalnya lebar.

Nun di Sawangan, Depok, pendatang asal Filipina juga hadir di nurseri Hara milik Ricky Hadimulya. Jenisnya sudah lazim dikenal: anthurium wave of love. Namun, gelombang cinta asal negeri bekas jajahan Spanyol itu gelombang daunnya lebih besar-besar. Daunnya pun lebih tipis. Sosoknya berbeda jelas dengan wave of love asal Amerika Serikat yang juga ada di kebun itu. Gelombang negeri Paman Sam rapat, teksturnya keras.

Sepintas, penampilan gelombang cinta filipina itu mirip dengan anthurium koleksi Arifin Sobirin di Batam, Kepulauan Riau. Dari sosoknya, anggota famili Araceae yang disebut terakhir diduga varian gelombang cinta, tapi riaknya besar-besar dan jarang. Arifin mendapatkannya dari Malaysia. Bersamaan dengan itu, datang juga gelombang cinta bertangkai panjang.

Bill raksasa

Bukan tanpa alasan bila banyak hobiis dan pekebun mendatangkan kerabat aglaonema itu dari mancanegara. Sejatinya, anthurium asli Amerika Selatan. Anthos oura itu lantas menyebar ke berbagai negara termasuk negara-negara Asia. Di Kolombo, Sri Lanka, Rosy Nur Apriyanti, wartawan Trubus, melihat berpot-pot anthurium di halaman rumah Athula Kumara Silva. Salah satu koleksi istimewa pengusaha jual-beli mobil itu, induk wave of love dengan 5 spadik menjelang matang. Panjang daunnya membentuk tajuk selebar 2 m.

Sejak 1980-an, banyak hobiis dan pekebun yang mendatangkan anthurium ke tanahair. Kini saat anthurium naik daun, jenis-jenis hasil introduksi jadi incaran. Chandra Gunawan memboyong anthurium big bill dari Miami, Florida, Amerika Serikat. Dari namanya sudah bisa diduga, bunga ekor itu berukuran besar.

Pohon induknya Chandra lihat 7 tahun lalu di Miami. Waktu itu panjang daun mencapai 1 m. Saat ini-dari foto yang ditunjukkan Chandra kepada Kiki Rizkika, wartawan Trubus, daun induk big bill sepanjang 2 m. Daunnya lemas dan menjuntai sehingga sang empunya memajang di atas penyangga setinggi 3 m. 'Ini satu-satunya yang ada di Amerika,' tutur Chandra. Anthos oura itu diduga hasil silangan A. cubense dengan jenis lain. Untuk sementara big bill yang bisa ditemui di tanahair hanya anakan asal biji berdaun 5-8 helai.

Di Jakarta Selatan, Bambang S Tjahjono mengoleksi anthurium marble queen, noname variegata, dan pucuk pink asal Thailand. Bambang mendapatkannya 5 bulan silam waktu menyambangi nurseri-nurseri di negeri Siam. Anthurium yang disebut pertama, berbercak putih di seluruh daun. Daunnya berbentuk oval. Di tanahair ada juga laceleaf berjuluk marble queen, tapi daunnya bergelombang dan lebil panjang. Noname variegata belang-belang hijau putih seperti marble queen tapi daunnya memanjang. Sementara pucuk pink disebut begitu karena daun mudanya berwarna merah muda.

Toh, bukan berarti koleksi hobiis tanahair kalah elok. Di Kaliurang, Yogyakarta, Nesia Artdiyasa, wartawan Trubus, mengabadikan A. jenmanii sultan milik Joe Kok Siong. Si empunya mendapatkan raja daun hias itu 6 tahun lalu saat berdaun 5 helai. Saat ini diperkirakan umur tanaman 14 tahun dengan 3 tongkol. Daunnya tebal dengan permukaan bergelombang dan tepi mengeriting. Tangkai daun pendek sehingga penampilan tanaman terlihat kompak. Namun, pertumbuhan daun lambat.

Di Jakarta, pasangan H Aldrin Siby dan Hj Netty Itawatty Siby memiliki anthurium unik. Disebut unik lantaran daun kerabat caladium itu bisa mengeluarkan air-mirip dengan anthurium airmata bunda koleksi hobiis asal Jawa Tengah. Daun bunga ekor koleksi pasangan Siby biasanya mengeluarkan air pada sore hingga tengah malam dan dini hingga pagi hari.

Unik

Penampilan unik dan apik anggota famili Araceae milik para kolektor pun tersaji di ajang kontes anthurium pada Trubus Agro Expo 2007. Sebut saja misalnya jenmanii mini milik nurseri Gading. Daunnya yang seukuran daun belimbing membentuk formasi mengeliling dan rapat sehingga tajuknya terlihat kompak seperti pagoda.

Tajuk kompak juga jadi daya tarik koleksi Achun Owen di Tangerang. Jenmanii ukuran remaja itu daunnya mengeriting dan menumpuk. Sementara jenmanii milik Mohawari elok dengan bentuk seperti tanduk dan mengkilap. Pantas si empunya menjuluki dengan nama tanduk lilin.

Yang tak kalah unik, hookeri mutasi milik Linda. Salah satu daunnya berbentuk tombak tercabik. Sosoknya gagah dengan arah menjulang ke langit. Sementara wave of love koleksi Cecep Purnama unik karena susunan daunnya bertingkat membentuk 4 penjuru mata angin. (Evy Syariefa/Peliput: Kiki Rizkika, Nesia Artdyasa, dan Rosy Nur Apriyanti)

http://www.trubus-online.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=1&artid=132

Pop Marketing Anthurium


Oleh trubuson - Sabtu, 01 Desember 2007

Ini kan fenomena pop marketing,' ujar Rhenald Kasali, PhD. Pernyataan itu meluncur dari bibir pakar pemasaran kawakan itu ketika dimintai komentar tentang fenomena bisnis anthurium terkini. Anggota famili Araceae yang sejak era 80-an dikenal di kalangan hobiis itu tiba-tiba melejit menjadi bisnis bernilai ratusan juta rupiah. Akibatnya, mulai pengojek hingga juragan perusahaan organda berlomba mendulang laba.

Anthurium menjadi ngepop, populer, gara-gara disebut-sebut mendatangkan untung. Menurut kabar, seorang juragan emas di Karangpandan, Karanganyar, mendapat laba ratusan juta rupiah dalam hitungan bulan. Itu hasil penjualan biji-biji Anthurium jenmanii dari indukan dengan tongkol siap panen. Informasi itu dengan cepat menyebar dari mulut ke mulut dan lewat media massa. Akibatnya, ribuan tanaman induk diburu dari daerah sentra di Bogor, Depok, Jakarta, dan Tangerang.

Menurut Rhenald, cerita seperti itu dengan mudah diterima masyarakat. 'Ini karena sekarang kita memasuki era yang disebut the dream society. Di era ini, masyarakat membeli sesuatu karena cerita di balik produk itu,' lanjut doktor dari University of Illinois, Urbana & Champaign, Amerika Serikat itu.

Perilaku bergerombol

Euforia bisnis anthurium pun merembet ke berbagai kota. Di Jakarta ada Janti Kusyanti dan Bambang Tjahjono; Arifin Sobirin (Riau); Joseph Tondas dan Yudi Wijanarko (Palembang); serta Gesang Singgih Priyono dan Edy Sutioso (Surabaya). Di antara mereka banyak yang berlatar belakang nonpertanian. Djudju Antony, eksportir diskus dan Anthonius bekerja di bidang hiburan (Jakarta), sementara Dr Hj Sulastri ME MKom dosen di Universitas Sriwijaya (Palembang).

Sejalan dengan lonjakan pemain, harga anthurium membubung. Pada era 90-an akhir harga induk jenmanii paling Rp1-juta. Pada 2006 harganya hingga belasan juta rupiah per tanaman induk. Setahun berselang, melonjak lagi jadi di atas Rp100-juta per induk.

Menurut catatan Hauw Lie, harga bibit 2 daun sebelum 2004 hanya Rp2.000-Rp3.000. Pada awal 2006 naik jadi Rp4.000-Rp5.000 per bibit; Maret (Rp22.500), dan Juni-Agustus 2006 (Rp70.000). Pada akhir 2006 sempat turun jadi Rp17.500-Rp18.000 per bibit, tapi Agustus 2007 naik lagi hingga Rp100.000.

Melihat pergerakan harga itu, Ir Satrio Wiseno, M Phil berujar, 'Ini sebetulnya kasus supply dan demand biasa. Ketika pasokan tetap, mendadak permintaan naik. Secara otomatis harga akan naik,' katanya. Praktisi survei pemasaran itu menduga, lonjakan itu dipicu stimuli tertentu. Dr Ir Roy Sembel, MBA, pakar keuangan dan investasi, sepakat. Doktor bidang corporate finance and econometrics dari Universitas Pittsburgh, Amerika Serikat itu menyebut fenomena itu bisa dijelaskan lewat analisis perilaku bergerombol (hording behaviour) manusia.

Ketika sekelompok orang berhasil mengingar-bingarkan komoditas tertentu, itu membuat orang lain jadi ingin tahu. Mereka pun melakukan permintaan. 'Ketika stok terbatas, maka hukum ekonomi berlaku: harga naik,' lanjut dekan Fakultas Ekonomi Universitas Multimedia Nusantara itu.

Pengajar program doktoral magister bisnis di Universitas Padjadjaran itu mencontohkan fenomena tulip bubble di Belanda sekitar 100 tahun silam. Waktu itu ada sejenis tulip sangat populer dan banyak diincar karena menurut sekelompok hobiis istimewa: punya warna lebih gelap sehingga disebut tulip hitam. Harga 1 bulb setara dengan harga sebuah rumah. Pada kasus anthurium, gara-gara disebut menguntungkan, permintaan melonjak tiba-tiba. Apalagi tanaman hias memang populer di masyarakat.

Roy mengistilahkan tren yang dipicu selera masyarakat sebagai fad behaviour. Biasanya, tren seperti itu terjadi pada barang-barang yang sifatnya tidak kasat mata, tidak bisa diraba alias intangible. Misal berkaitan dengan khasiat kesehatan, keindahan, dan hoki. Karena sifat intangible-nya itu, harga bisa dibuat membumbung. Syaratnya, barang itu mesti langka dan sulit diperbanyak. 'Misalnya barang seni seperti lukisan,' kata Satrio.

Arry Seno Handoyo, pionir di Solo, menuturkan kepada Nesia Artdiyasa, wartawan Trubus, anthurium-terutama jenmanii-mahal lantaran punya fungsi keindahan. 'Jenmanii itu punya seribu wajah, punya banyak keunikan yang akhirnya memunculkan banyak sebutan,' ujar pemilik nurseri Sabda Alam itu. Lagi pula anggota famili Araceae itu bersifat abadi, makin dewasa kian muncul keindahannya. Tom Croat, presiden International Aroids Society, menyebut jenmanii alias A. bonplandii var guayanum memang menarik. Namun, harga di Indonesia membuat mata membelalak.

Hitungan busa

'Dalam kacamata finansial ekonomi, bisnis tanaman hias terjadi karena adanya persepsi yang berkaitan dengan hobi,' kata Elvyn G Masassya, praktisi dan konsultan keuangan. Jika persepsi itu mendapat sambutan positif, maka terciptalah bola saljunya. Yang tertarik terjun ke bisnis itu mulai dari kalangan bawah hingga atas.

Ini mudah terjadi karena sifat manusia gampang diiming-imingi hitung-hitungan busa-bubbles-alias omong kosong sekalipun. 'Hanya dengan menyuruh membayangkan dengan membeli indukan Rp5-juta, nantinya jadi 20 anakan harganya masing-masing Rp5-juta berarti didapat untung sekian, mereka sudah tertarik. Padahal di dalamnya ada risiko yang tidak disebutkan,' papar Satrio.

Kenaikan permintaan dan harga pun terjadi. Kondisi seperti itu yang menurut Elvyn memberi persepsi bahwa ini investasi yang baik. 'Padahal investasinya buatan, artificial investment,' lanjut pengisi kolom investasi dan keuangan di sebuah harian itu. Arry Seno Handoyo bercerita, ia sempat menukar mobil dengan indukan jenmanii. Ketika ada orang yang berani menawar, kelahiran Solo 8 Agustus 1960 itu menaikkan harga. 'Sehingga timbul persepsi tanaman ini mahal,' tuturnya.

Fenomena itu bisa dianalogikan dengan 'goreng-menggoreng' saham di bursa efek. Ketika ada saham hendak dinaikkan harganya, pemilik atau pialang membuat permintaan tinggi. Permintaan riil tidak ada, tapi terjadi transaksi antarpialang untuk mendongkrak harga. Begitu harga tinggi, saham dilepas.

Bibit anthurium mirip saham, dibeli untuk dijual kembali supaya didapat laba tinggi. Fenomena itu dikhawatirkan membentuk pasar imajiner. Pasarnya antarpedagang. 'Dengan harga per tanaman Rp20-juta-Rp200-juta dikhawatirkan tidak ada end-user-nya,' tutur Rhenald. Didik Setiawan, pelopor anthurium di Karanganyar, mengakui mayoritas pemain anthurium adalah pedagang murni. Di mata para pakar, ini identik bisnis cacing pada awal 90-an. Disebutkan ada permintaan untuk ekspor sebagai bahan kosmetik. Setelah ditelusuri, permintaan nol.

Namun, Didik menampik dugaan 'goreng-menggoreng' itu. 'Tidak mungkin pasar dibentuk oleh sekelompok orang. Tentu sangat sulit memborong anthurium di seluruh Indonesia karena jumlahnya pasti sangat banyak dan tersebar di mana-mana,' tuturnya. Tren muncul karena mekanisme pasar. Banyak orang mengekor berbisnis anthurium lantaran melihat bukti. Siapa yang tidak tergiur pengalaman Hauw Lie membeli mobil dengan menjual 1 spadik jenmanii senilai Rp500-juta?

Investasi emosi

Itu berarti, investasi di tanaman hias (baca: anthurium) sah-sah saja. Namun, karena berkaitan dengan hobi, 'Itu adalah investasi emosi yang dipengaruhi selera pasar,' kata Roy. Supaya menjadi investasi aman, calon investor mesti tahu rambu-rambunya. Ia mesti tahu produk yang akan dihasilkan, berapa besar kebutuhan pasar, bagaimana rantai tataniaganya, di mana konsumennya, berapa harga di setiap level tataniaga, bagaimana cara mengantarkan dari titik awal produsen sampai titik akhir konsumen, hingga pemanfaatan produk di tingkat konsumen akhir.

Pertanyaan menjual pada siapa dan apakah ada permintaan berulang, repeat purchase, harus bisa dijawab. Semua rambu itu untuk menjamin keberlanjutan pasar. Pendek kata, 'Tanaman hias akan menjadi investasi menarik jika hobiisnya banyak dan permintaannya terus-menerus, sementara supply terbatas,' ujar Elvyn, mantan direktur Bank Permata yang kini menjabat corporate secretary BNI 46 itu. Namun, mengukur permintaan produk bersifat estetika sulit karena bukan kebutuhan pokok.

Belakangan, kondisi mulai bergeser. Pada Agustus 2007, harga biji gelombang cinta naik drastis dalam hitungan minggu. Menurut catatan Iwan Hendrayanta, pemain di Jakarta Barat, pada 14 Agustus 2007 harganya di Jakarta Rp2.000; 20 Agustus (Rp5.000); 31 Agustus (Rp10.000); 9 September (Rp15.000); dan 14 September (Rp17.500). Pergerakan harga membuat pasar menggeliat. Maklum berkaca pada pengalaman jenmanii, begitu menanjak, harganya ajek tinggi.

Apa lacur, memasuki September 2007 harga wave of love meluncur. Harga biji tinggal Rp3.000. Bibit dengan 2-3 daun Rp17.000-Rp20.000. Padahal pada Juli-Agustus sempat menyentuh angka Rp30.000 per bibit. 'Sekarang ini semua menahan barang. Tidak ada yang menjual dan membeli. Tujuannya untuk menahan harga,' ujar Ricky Hadimulya, pemain di Sawangan, Depok. Ratusan bibit yang diimpor dari Amerika Serikat pun masih mangkal di nurserinya.

'Umur tren barang intangible pendek,' ucap Roy. Itu tergantung pada selera masyarakat. Ketika nilai intangible-nya jatuh, yang tersisa nilai kasat mata yang tidak sebesar nilai intangible. Saat itulah bola salju bisnis mencair. Kondisi pasar kembali ke kondisi normal, harga normal. Tren tulip hitam berlangsung kira-kira 1 tahun. Berdasarkan kemiripannya, anthurium diduga bakal mengalami hal sama.

Makanya para pakar mewanti-wanti mereka yang ngotot berinvestasi di anthurium. 'Untuk investasi jangka pendek, sepanjang yang bersangkutan punya sumber informasi dari banyak orang tentang permintaan dan pasar, ia berada dalam kondisi strategis untuk bermain,' kata Roy. Untuk investasi jangka panjang, sebaiknya berpikir ulang. Mereka yang masuk belakangan tanpa perhitungan tepat jadi pihak yang paling rugi. Sementara si pencipta spekulasi sudah berpindah lagi.

Bisnis di harga wajar

Toh, buat Gunawan Wijaya, pemain tanaman hias senior di Sentul, Bogor, wajar banyak orang membenamkan investasi di tanaman hias. 'Sekarang kondisi sektor riil mati. Kalau uang disimpan di bank, berapa bunganya? Bandingkan dengan keuntungan kalau dia menginvestasikan di tanaman hias,' kata mantan pegawai bank swasta itu. Masuknya para pemodal kuat dengan latar belakang nonpertanian justru menunjukkan investasi tanaman hias adalah bisnis nyata. Hanya saja, memang perlu dilakukan analisis pendahuluan. 'Tanpa itu, bukan investasi tapi buang-buang duit,' imbuhnya.

Supaya tren langgeng, 'Sangat tergantung pada kemampuan orang-orang di dalam melakukan inovasi dengan menciptakan sifat-sifat intangible baru,' kata Roy. Ini untuk mengatasi penurunan permintaan dan harga akibat kejenuhan dengan persepsi sifat intangible awal. Pantas setahun tren anthurium berlalu, kini cerita tentang jenis-jenis hitam banyak dicari tengah digadang-gadangkan.

Pemula mesti membidik sasaran bisnis dengan tepat. Ia mesti tahu berapa harga di tingkat normal, ketersediaan stok di pasar, pasar yang akan menyerap, dan sampai kapan pasar bisa menyerap. Kasus wave of love jadi pembelajaran cara membaca pasar.Toh, para pemain yakin pasar anthurium tetap menjanjikan. Indikasinya antara lain, perluasan pasar ke luar Jawa. Mayoritas pemain yang pedagang justru 'menguntungkan'. 'Makin banyak pedagang justru makin banyak konsumen,' kata Gunawan Wijaya.

Pemilik Wijaya Orchids itu mencontohkan pengalaman adenium. Bisnis kamboja jepang kian membesar ketika pemain baru bermunculan. Musababnya, setiap pedagang pasti berupaya supaya dagangannya laku dan menarik konsumen. Namun, kehadiran pebisnis 'jahil' yang hanya mengambil keuntungan sesaat bisa menjadi batu sandungan.

Elvyn menyarankan pemain melakukan diversifikasi supaya tanaman hias jadi investasi berkelanjutan. Diversifikasi yang dimaksud, memainkan banyak jenis tanaman hias berbeda. 'Karena suatu saat tren akan hilang dan berganti dengan yang lain. Diversifikasi merupakan upaya mengurangi risiko kerugian,' kata mantan komisaris Bank Bali itu.

Yang juga harus dipahami, pasar akan stabil. Harga akan berada di bawah harga ketika tren. Itu yang kini terjadi pada adenium, lou han, dan aglaonema-sekadar mencontohkan. Pergerakan pasar aglaonema terjadi pada jenis-jenis dengan harga Rp100.000-Rp200.000-an per tanaman. Adenium bisa dibeli di pedagang keliling Rp25.000 per tanaman. Sementara margin rasional komoditas pertanian hanya 5-10%. Kini pilihan ada di tangan para calon pendulang laba. (Evy Syariefa/Peliput: Argohartono Arie Raharjo, Destika Cahyana, Dian A Susanto, Imam Wiguna, Nesia Artdiyasa, Lastioro Anmi Tambunan, dan Sardi Duryatmo)

http://www.trubus-online.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=1&artid=135

Bisnis Anthurium Bukti Ramalan 850 Tahun Silam

Idola baru Indonesia! Itu kalimat tepat buat anthurium, si raja daun yang lagi naik daun. Pejabat, pengusaha, hingga tukang becak 'menyantapnya' sebagai obrolan sehari-hari sejak 1,5 tahun silam. Ia disebut-sebut sebagai tanaman investasi. Namun, ahli statistik, marketing, keuangan, dan investasi sepakat memberi peringatan: 'Itu pasar semu, bisnis musiman, dan bubble phenomenon alias hitung-hitungan busa.' Benarkah bisnis anthurium hanya omong kosong?

Dunia tanaman hias-termasuk anthurium-di Indonesia memang unik. Saya mengamati perkembangan tanaman hias sejak 23 tahun silam. Tren tanaman hias selalu berganti, bagaikan sebuah roda yang berputar. Banyak tanaman yang sebelumnya tak populer tiba-tiba mencuat ke permukaan. Sebut saja palm, sansevieria, euphorbia, adenium, dan aglaonema. Mereka pernah menjadi tanaman hias berharga mahal.

Diakui atau tidak tanaman hias itu populer karena ada faktor pemicu. Lazimnya dibuat segelintir orang yang kerap disebut trensetter. Ia bisa perorangan atau pun kumpulan orang yang belum tentu saling mengenal. Namun, vonis bisnis semu tak otomatis layak diberikan pada komoditas yang trennya dibuat segelintir orang. Pengalaman sejak 1984 membuktikan, end user tanaman hias di Indonesia memang ada.

End user itu berupa kolektor yang berani membeli dengan harga tinggi-dari jutaan hingga miliaran rupiah-dan hobiis rumah tangga yang hanya menyerap tanaman hias bernilai ratusan ribu ribu. Jumlah mereka selalu bertambah dari masa ke masa. Banyak hipotesis yang menjelaskan mengapa jumlah itu selalu bertambah. Publikasi media, pertumbuhan ekonomi yang kian membaik, mitos, dan sejarah di balik tanaman, hingga budaya masyarakat Indonesia turut mempersubur sebuah tanaman menjadi klangenan yang dicintai.

Nyata

Pergulatan anthurium dan saya sebagai ketua umum Perhimpunan Florikultura Indonesia (PFI) bisa menjadi contoh. Mulanya saya tergolong orang yang mencibir dan meragukan kehadiran anthurium sebagai idola baru. Bentuk dan warna daun yang hijau monoton tak semenarik aglaonema. Maklum, selama ini saya dikenal sebagai pemain aglaonema dan kolektor enchephalartos.

Namun, setelah iseng-iseng mengoleksi 1-2 anthurium dan mengamati secara detail di waktu senggang, anthurium seolah memancarkan sebuah aura. Ketebalan, tekstur, dan urat daun yang kokoh menarik saya untuk mencintainya. Ia menyimbolkan sebuah kegagahan. Itu yang belum saya temui pada tanaman hias indoor lain. Itu kisah setahun silam, kala saya jatuh cinta pada anthurium. Tentu kolektor lain banyak yang mengalami kejadian seperti itu.

Harga yang terus bergerak pun menjadi daya tarik bisnis. Saya mengalami sendiri, sebuah anthurium kobra berdaun 5 yang dibeli Rp12,5-juta pada Februari 2007 kembali ke tangan saya 3 kali dengan harga yang terus merangkak naik. Kobra itu dijual pada Maret 2007 senilai Rp50-juta, dan saya beli kembali pada April seharga Rp68-juta. Lalu kolektor lain membelinya Rp90-juta pada Juli 2007. Saya membelinya kembali dengan harga Rp125-juta untuk persiapan pameran. Meski tak laku pada pameran, November lalu, seorang kolektor mengambilnya dengan harga Rp180-juta.

Sebuah transaksi yang nyata dan tak ada seorang pun kolektor dirugikan. Saya dan pelanggan sama-sama untung karena kobra itu selalu dibeli dengan harga lebih tinggi ketimbang sebelumnya. Pertanyaan yang kerap diajukan ialah, apa motivasi seorang kolektor berani membeli dengan harga tinggi? Jawabannya sederhana, sebuah prestise. Memang, anthurium bukanlah barang sembako yang menjadi kebutuhan primer setiap orang. Namun, akar sejarah dan budaya masyarakat Indonesia membuktikan, prestise bagi masyarakat Nusantara menjadi sebuah kebutuhan penting.

Kebutuhan pada prestise itu dimiliki setiap lapisan masyarakat. Artinya, setiap orang rela membelanjakan uangnya demi sebuah prestise sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Sebagai contoh, baru-baru ini saya menemukan sebuah desa di kaki Gunung Lawu. Penduduk desa itu dengan pendapatan ekonomi seadanya mengoleksi anthurium selama puluhan tahun. Tak seorangpun berniat melepasnya meski ditawar dengan harga tinggi. Menurut mereka, anthurium ialah tanaman yang dirawat oleh raja-raja di masa silam. Memiliki tanaman koleksi raja menjadi sebuah kebanggaan yang tak dapat dinilai dengan harta benda.

Bukti ramalan

Perjalanan ke berbagai daerah di pelosok Jawa juga membuat mata saya terbuka. Ternyata nilai sebuah daun bagi masyarakat Nusantara-khususnya Jawa-sangat penting. Seorang tetua yang mengenal budaya Jawa pernah mengatakan ada sebuah ramalan Jayabaya tentang daun yang fenomenal. Konon, penguasa Kediri pada 1135-1159 M itu pernah meramal, di masa depan semua barang di dunia-rumah, kendaraan, tanah, senjata-bisa ditukar oleh selembar daun.

Mungkin itu berkaitan dengan cerita mistik yang kerap kita dengar, banyak orang sakti berbelanja dengan daun yang disihir menjadi uang. Namun, ramalan itu ternyata terbukti. Sejak tren aglaonema selembar daun dinilai sebagai rupiah. Ramalan itu kian nyata pada anthurium. Banyak transaksi rumah, tanah, dan kendaraan di sentra anthurium Karanganyar, Solo, dan Yogyakarta, menggunakan daun, si raja daun anthurium.

Itu cerita masa lalu yang menjadi nyata saat ini. Prestise memiliki anthurium pun menghinggapi kalangan artis yang kerap menjadi publik figur. Sebut saja Rano Karno, artis yang giat memproduksi pupuk organik. Ia pernah mengatakan, jangan mengaku kaya di Indonesia bila belum memiliki anthurium. Artinya, simbol kemapanan bukanlah sekadar mempunyai tempat tinggal, wanita, dan kendaraan saja. Seseorang belum diakui hidup mapan bila belum memiliki anthurium. Dalam artian lebih luas lagi, bila belum memiliki klangenan.

Mitos, sejarah, dan budaya itu menjadi modal anthurium untuk populer. Ia kian melejit karena publikasi media yang jor-joran. Tak hanya media pertanian yang mengulasnya. Media cetak umum mengulasnya dalam waktu yang berdekatan. Hampir seluruh televisi pun mempublikasikannya. Belum lagi tabloid pertanian di daerah yang menjamur. Konon, ada 15 media baru yang muncul karena anthurium. Mirip menjamurnya tabloid politik di era reformasi karena dibukanya keran kebebasan.

Akibatnya, masyarakat Nusantara dari Sabang sampai Merauke tersihir oleh anthurium. Pecinta dan pemain si raja daun kian bertambah. Segelintir orang bermodal besar yang mulanya memicu tren anthurium tak lagi bisa mengendalikan. Siapa yang sanggup mengatur ribuan orang? Namun, seperti roda yang berputar, semua tren memiliki zaman masing-masing. Kejenuhan di masa depan ialah sebuah keniscayaan. Sayang, tak ada yang bisa meramalnya kapan itu terjadi. (Iwan Hendrayanta, ketua umum Perhimpunan Florikultura Indonesia, tinggal di Jakarta)

http://www.trubus-online.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=1&artid=133

TIPS

MEN-STERIL-KAN MEDIA TANAM :

Media tanam Anthurium sebagian besar adalah akar pakis, juga ada bahan lain yang digunakan untuk campuran antara lain sekam bakar, kompos, pupuk kandang dan cocopeat.
Tetapi seringkali para hobiis yang mungkin dengan terbatasnya waktu dan pengetahuan tentang anthurium, tidak men-sterilkan-media tanam dulu sebelum digunakan. Dan berakibat munculnya jamur/fungi yang menyebabkan kebusukan akar.
Cara untuk membuat steril media tanam sebagai berikut :

1. Lakukan proses pemanasan dengan oven atau bisa juga di-sangrai sampai kandungan air pada pakis habis/kering. terutama pada pakis muda ( dipasaran pakis yang berumur tua/memenuhi syarat mulai langka ).

2. Rendam atau semprot pakis dengan fungisida/anti jamur dan biarkan/di angin-anginkan selama kurang lebih 2-3 jam.

3. Lalu jemur di bawah terik matahari selama kurang lebih 3-5 jam. Perhatikan pakis harus di aduk beberapa kali agar penyinaran merata dan sampai kering semuanya.

4. Pakis siap dan aman untuk digunakan.


MENJAGA KETAJAMAN WARNA :

Seringkali para hobiis anthurium mengeluh karena Anthurium berwarna yang mereka miliki menjadi pudar, bukan malah semakin tajam malah perlahan-lahan kembali ke warna hijau. Tentu saja akan mengurangi keindahan sekaligus nilai jualnya. Sebenarnya bukan hal yang sulit dilakukan, bila anda tahu tips-tipsnya ! Berikut ini apa saja yang bisa dilakukan untuk menjaga ketajaman warna pada Anthurium.

1. Ini merupakan cara yang paling penting. Jemur Anthurium anda di bawah sinar matahari pagi antara jam 8-9 selama kurang lebih 0,5 - 1 jam. Jangan terhalang paranet atau apapun. Ini berguna untuk menjaga pigmen warna pada Anthurium anda.

2. Jaga kelembaban pada sekitar tanaman. Hal ini bisa dilakukan dengan beberapa cara antara lain, lakukan pengabutan pada daun secara berkala terutama ketika suhu sangat panas/terik matahari di siang hari. Bisa juga ditaruh pancuran air ( banyak tersedia di supermarket ) atau di buat kolam di bawah tanaman anda.

3.Berikan arang pada atas media. Ini bukan berarti warna arang yang hitam bisa membuat Anthurium anda berwarna hitam ! Arang lebih berfungsi untuk mengikat karbon di udara yang dengan sendirinya membantu proses fotosintesa Anthurium anda. Atau bisa diberi sedikit tembakau untuk mencegah jamur atau cendawan yang bisa menggangu tanaman anda.

by DENI KURNIAWAN


Aglaonema Greg Hambali

Aglaonema Greg Hambali
Sabtu, 24 November 2007 04:31:19 - Post By admin
Catatan Aglaonema

Tahukah anda aglaonema apa saja yang telah dihasilkan Bpk. Greg Hambali ? Kami menemukan catatan untuk itu sbb :

Donna Carmen (1985), asal nama : Donna Carmen diambil dari nama penjual nasi di Costa Marques - Brazil, tempat dimana Greg singgah untuk makan selama ekspedisinya.

Pride of Sumatera (1993): Pride og Sumatera artinya kebanggaan Sumatera. Greg berterimakasih kepada Sumatera yang telah mempersembahkan aglaonema Rotundum sebagai penyumbang warna merah yang monumental, yang menjadi bahan ciri khas dari penyilangannya. Adelia (Tahun release : 2000). Asal nama : Diambil dari nama kolektor tanaman hias di Manila, Adelia Angeles yang membantu perburuan Aglaonema Commutatum di kawasan Panay, Filipina.

Widuri (Tahun release : 2000). Asal nama : Terinspirasi dari lagu lama yang berjudul Widuri yang dinyanyikan oleh Bob Tutupoly. Lagu tersebut menceritakan tentang seorang gadis yang cantik , secantik Aglaonema Widuri.
Tiara (Tahun release : 2004). Asal nama : Nama dari puteri Antony Ekasaputra, petani tanaman palem di Bogor.

Madame Soeroyo (Tahun release : 2004). Asal nama : Mengambil nama kolektor setia aglaonema asal Jakarta Selatan yang merupakan sahabat baik Greg, Tati Soeroyo. Nama itu sekaligus sebagai hadiah untuk ulang tahunnya yang ke 80.
Angelina (Tahun release : 2004). Asal nama : karena mirip dengan A. Angela maka dinamai Angelina.

Agela (Tahun release 2004). Sebenarnya namanya Ageles, berasal dari Adelia Angeles , nama kolektor tanaman. Tetapi karena Angeles merupakan nama laki-laki , maka diganti menjadi Angela.
Kreshna (Tahun release 2004). Asal nama : Nama Raja yang bijaksana , salah satu tokoh dalam pewayangan.

Sexy Pink ( tahun release : 2004). Asal nama : Warna pink yang dominant dan indah.Shinta (elease : 2004). Asal nama : Nama tokoh pewayangan dalam kisah Rama dan Shinta.
Ruby (tahun release : 2006). Asal nama : Warna bercaknya merah sebagaimana batu Rubi.
Jatayu (Tahun release: 2004). Asal nama : Nama tokoh burung dalam cerita pewayangan.

Lipstick. (tahun release : 2004 / 2005). Asal nama : Dinamai lipstick lantaran pinggiran daunnya berwarna merah menyala sebagaimana bibir yang menggunakan pemulas bibir (lipstick)
Petita (tahun release : 2004) asal nama : Berasal dari bahasa latin yang berarti langsing.
JT 2000. (Tahun release : 2000) . Asal nama : diambil dari nama sahabat Greg dari Singapura : John Tan.

Ruth (tahun release 2005). Asal nama : nama ahli botani yang bermukim di Malaysia DR.Ruth Kiew.
Dolores. (tahun release : 2004/ 2005). Asal nama : berasal dari nama pemilik Blooming Good Nursery, di Florida : Dolores Fugina.
Teresa. (tahun release : 2004 / 2005). Asal nama : diambil dari nama Bunda Teresa , tokoh perdamaian dunia yang punya hati lembut.

Srikandi. (tahun release : 2004). Merupakan aglaonema seri wayang ( yang dinamai tokoh pewayangan). Srikandi diambil dari ksatria putrid yang pandai memanah.

Juliet. (tahun release : 2004 / 2005. Asal nama : Pemilihan namanya terkait erat dengan kisah romantis Romeo and Julie. Drama klasik karangan Shakespeare.

Jake Henny. (tahun release : 2003). Asal nama : penampilannya gagah hingga cenderung maskulin, maka dinamai dengan nama laki-laki, Jake.
Hot Lady. (tahun release : 2005). Asal nama Namanya agak lain dari sebelumnya karena yang memberinama anak pak Greg : Mia).

Super Pride. (tahun release : 2005). Berasal dari nama Pride of Sumarera dengan warna super merah.
Stella. (Tahun release : 2004 ). Asal nama : Nama lembut identik dengan nama perempuan, karena Aglaonema Stella berkarakter lembut.

Catherine. (tahun release 2004). Asal nama : nama lembut yang mencerminkan kelembutan warna.
Lucky (tahun release : 2004). Asal nama : Nama maskulin karena warnanya yang kontras dengan sosok gagah.

Lisa (tahun release : 2004). Asal nama : nama feminim.

Evita (tahun release : 2004). Asal nama : nama perempuan (feminim karena warna daun lembut).
Esmeralda (tahun release : 2004). Asal nama : Nama perempuan karena warna tanaman lembut.
Moonlight. (tahun release : 2005). Asal nama : bentuk daunnya bulat dan kekuningan seperti bulan yang sedang bersinar).

Diana (tahun release : 2004). Asal nama : sosoknya tinggi, ibarat Lady Diana, mendiang istri Pangeran Charles sehingga dinamai Diana.
Amalia (tahun release 2004 / 2005 ). Asal nama : tidak diketahui.

Srigading (tahun release : 2004 / 2005). Asal nama : Berasal dari kata gading karena warnanya kuning mirip warna gading.
Reina (tahun release : 2005). Asal nama : nama perempuan (feminism).

Veronica. (tahun release: 2005. Asal nama : nama perempuan (feminism).

Harlequin. Tahun release : 2006). Asal nama : Penampilannya memukau orang. Dengan melihatnya akan mendatangkan kesenangan.

Mutiara . Asal nama : Aglaonema ini diberi nama Mutiara karena kelir putih kekuningan di daunnya menimbulkan suasana kemilau , ibarat kilauan cahaya mutiara.

Siti Nurbaya. Asal nama : pemberian nama aglaonema ini terinspirasi oleh legenda Siti Nurbaya, sesungguhnya agklaonema ini termasuk seri Ruby.

Urat Bihun / Siti Nurhaliza. Asal nama : Terinspirasi oleh kecantikan paras dan kemerduan suara penyanyi asal Malaysia, Siti Nurhaliza, yang terkenal lewat lagu “Cindai”.

Ariana (tahun release 2004). Asal nama : Aglaonema ini koleksi Songgo (Jakarta). Nama Ariana untuk menghormati nama teman Songgo, kolektor aglaonema di Jakarta Barat.
Audrey (tahun release : 2004). Asal nama Audrey diambil dari nama puteri Songgo.

Dikutip dari buku Aglaonema Silangan Greg Hambali /FLONA Serial)
http://www.daoenbagoes.com/Aglaonema_Greg_Hambali,1.html