03 Desember 2007

Pop Marketing Anthurium


Oleh trubuson - Sabtu, 01 Desember 2007

Ini kan fenomena pop marketing,' ujar Rhenald Kasali, PhD. Pernyataan itu meluncur dari bibir pakar pemasaran kawakan itu ketika dimintai komentar tentang fenomena bisnis anthurium terkini. Anggota famili Araceae yang sejak era 80-an dikenal di kalangan hobiis itu tiba-tiba melejit menjadi bisnis bernilai ratusan juta rupiah. Akibatnya, mulai pengojek hingga juragan perusahaan organda berlomba mendulang laba.

Anthurium menjadi ngepop, populer, gara-gara disebut-sebut mendatangkan untung. Menurut kabar, seorang juragan emas di Karangpandan, Karanganyar, mendapat laba ratusan juta rupiah dalam hitungan bulan. Itu hasil penjualan biji-biji Anthurium jenmanii dari indukan dengan tongkol siap panen. Informasi itu dengan cepat menyebar dari mulut ke mulut dan lewat media massa. Akibatnya, ribuan tanaman induk diburu dari daerah sentra di Bogor, Depok, Jakarta, dan Tangerang.

Menurut Rhenald, cerita seperti itu dengan mudah diterima masyarakat. 'Ini karena sekarang kita memasuki era yang disebut the dream society. Di era ini, masyarakat membeli sesuatu karena cerita di balik produk itu,' lanjut doktor dari University of Illinois, Urbana & Champaign, Amerika Serikat itu.

Perilaku bergerombol

Euforia bisnis anthurium pun merembet ke berbagai kota. Di Jakarta ada Janti Kusyanti dan Bambang Tjahjono; Arifin Sobirin (Riau); Joseph Tondas dan Yudi Wijanarko (Palembang); serta Gesang Singgih Priyono dan Edy Sutioso (Surabaya). Di antara mereka banyak yang berlatar belakang nonpertanian. Djudju Antony, eksportir diskus dan Anthonius bekerja di bidang hiburan (Jakarta), sementara Dr Hj Sulastri ME MKom dosen di Universitas Sriwijaya (Palembang).

Sejalan dengan lonjakan pemain, harga anthurium membubung. Pada era 90-an akhir harga induk jenmanii paling Rp1-juta. Pada 2006 harganya hingga belasan juta rupiah per tanaman induk. Setahun berselang, melonjak lagi jadi di atas Rp100-juta per induk.

Menurut catatan Hauw Lie, harga bibit 2 daun sebelum 2004 hanya Rp2.000-Rp3.000. Pada awal 2006 naik jadi Rp4.000-Rp5.000 per bibit; Maret (Rp22.500), dan Juni-Agustus 2006 (Rp70.000). Pada akhir 2006 sempat turun jadi Rp17.500-Rp18.000 per bibit, tapi Agustus 2007 naik lagi hingga Rp100.000.

Melihat pergerakan harga itu, Ir Satrio Wiseno, M Phil berujar, 'Ini sebetulnya kasus supply dan demand biasa. Ketika pasokan tetap, mendadak permintaan naik. Secara otomatis harga akan naik,' katanya. Praktisi survei pemasaran itu menduga, lonjakan itu dipicu stimuli tertentu. Dr Ir Roy Sembel, MBA, pakar keuangan dan investasi, sepakat. Doktor bidang corporate finance and econometrics dari Universitas Pittsburgh, Amerika Serikat itu menyebut fenomena itu bisa dijelaskan lewat analisis perilaku bergerombol (hording behaviour) manusia.

Ketika sekelompok orang berhasil mengingar-bingarkan komoditas tertentu, itu membuat orang lain jadi ingin tahu. Mereka pun melakukan permintaan. 'Ketika stok terbatas, maka hukum ekonomi berlaku: harga naik,' lanjut dekan Fakultas Ekonomi Universitas Multimedia Nusantara itu.

Pengajar program doktoral magister bisnis di Universitas Padjadjaran itu mencontohkan fenomena tulip bubble di Belanda sekitar 100 tahun silam. Waktu itu ada sejenis tulip sangat populer dan banyak diincar karena menurut sekelompok hobiis istimewa: punya warna lebih gelap sehingga disebut tulip hitam. Harga 1 bulb setara dengan harga sebuah rumah. Pada kasus anthurium, gara-gara disebut menguntungkan, permintaan melonjak tiba-tiba. Apalagi tanaman hias memang populer di masyarakat.

Roy mengistilahkan tren yang dipicu selera masyarakat sebagai fad behaviour. Biasanya, tren seperti itu terjadi pada barang-barang yang sifatnya tidak kasat mata, tidak bisa diraba alias intangible. Misal berkaitan dengan khasiat kesehatan, keindahan, dan hoki. Karena sifat intangible-nya itu, harga bisa dibuat membumbung. Syaratnya, barang itu mesti langka dan sulit diperbanyak. 'Misalnya barang seni seperti lukisan,' kata Satrio.

Arry Seno Handoyo, pionir di Solo, menuturkan kepada Nesia Artdiyasa, wartawan Trubus, anthurium-terutama jenmanii-mahal lantaran punya fungsi keindahan. 'Jenmanii itu punya seribu wajah, punya banyak keunikan yang akhirnya memunculkan banyak sebutan,' ujar pemilik nurseri Sabda Alam itu. Lagi pula anggota famili Araceae itu bersifat abadi, makin dewasa kian muncul keindahannya. Tom Croat, presiden International Aroids Society, menyebut jenmanii alias A. bonplandii var guayanum memang menarik. Namun, harga di Indonesia membuat mata membelalak.

Hitungan busa

'Dalam kacamata finansial ekonomi, bisnis tanaman hias terjadi karena adanya persepsi yang berkaitan dengan hobi,' kata Elvyn G Masassya, praktisi dan konsultan keuangan. Jika persepsi itu mendapat sambutan positif, maka terciptalah bola saljunya. Yang tertarik terjun ke bisnis itu mulai dari kalangan bawah hingga atas.

Ini mudah terjadi karena sifat manusia gampang diiming-imingi hitung-hitungan busa-bubbles-alias omong kosong sekalipun. 'Hanya dengan menyuruh membayangkan dengan membeli indukan Rp5-juta, nantinya jadi 20 anakan harganya masing-masing Rp5-juta berarti didapat untung sekian, mereka sudah tertarik. Padahal di dalamnya ada risiko yang tidak disebutkan,' papar Satrio.

Kenaikan permintaan dan harga pun terjadi. Kondisi seperti itu yang menurut Elvyn memberi persepsi bahwa ini investasi yang baik. 'Padahal investasinya buatan, artificial investment,' lanjut pengisi kolom investasi dan keuangan di sebuah harian itu. Arry Seno Handoyo bercerita, ia sempat menukar mobil dengan indukan jenmanii. Ketika ada orang yang berani menawar, kelahiran Solo 8 Agustus 1960 itu menaikkan harga. 'Sehingga timbul persepsi tanaman ini mahal,' tuturnya.

Fenomena itu bisa dianalogikan dengan 'goreng-menggoreng' saham di bursa efek. Ketika ada saham hendak dinaikkan harganya, pemilik atau pialang membuat permintaan tinggi. Permintaan riil tidak ada, tapi terjadi transaksi antarpialang untuk mendongkrak harga. Begitu harga tinggi, saham dilepas.

Bibit anthurium mirip saham, dibeli untuk dijual kembali supaya didapat laba tinggi. Fenomena itu dikhawatirkan membentuk pasar imajiner. Pasarnya antarpedagang. 'Dengan harga per tanaman Rp20-juta-Rp200-juta dikhawatirkan tidak ada end-user-nya,' tutur Rhenald. Didik Setiawan, pelopor anthurium di Karanganyar, mengakui mayoritas pemain anthurium adalah pedagang murni. Di mata para pakar, ini identik bisnis cacing pada awal 90-an. Disebutkan ada permintaan untuk ekspor sebagai bahan kosmetik. Setelah ditelusuri, permintaan nol.

Namun, Didik menampik dugaan 'goreng-menggoreng' itu. 'Tidak mungkin pasar dibentuk oleh sekelompok orang. Tentu sangat sulit memborong anthurium di seluruh Indonesia karena jumlahnya pasti sangat banyak dan tersebar di mana-mana,' tuturnya. Tren muncul karena mekanisme pasar. Banyak orang mengekor berbisnis anthurium lantaran melihat bukti. Siapa yang tidak tergiur pengalaman Hauw Lie membeli mobil dengan menjual 1 spadik jenmanii senilai Rp500-juta?

Investasi emosi

Itu berarti, investasi di tanaman hias (baca: anthurium) sah-sah saja. Namun, karena berkaitan dengan hobi, 'Itu adalah investasi emosi yang dipengaruhi selera pasar,' kata Roy. Supaya menjadi investasi aman, calon investor mesti tahu rambu-rambunya. Ia mesti tahu produk yang akan dihasilkan, berapa besar kebutuhan pasar, bagaimana rantai tataniaganya, di mana konsumennya, berapa harga di setiap level tataniaga, bagaimana cara mengantarkan dari titik awal produsen sampai titik akhir konsumen, hingga pemanfaatan produk di tingkat konsumen akhir.

Pertanyaan menjual pada siapa dan apakah ada permintaan berulang, repeat purchase, harus bisa dijawab. Semua rambu itu untuk menjamin keberlanjutan pasar. Pendek kata, 'Tanaman hias akan menjadi investasi menarik jika hobiisnya banyak dan permintaannya terus-menerus, sementara supply terbatas,' ujar Elvyn, mantan direktur Bank Permata yang kini menjabat corporate secretary BNI 46 itu. Namun, mengukur permintaan produk bersifat estetika sulit karena bukan kebutuhan pokok.

Belakangan, kondisi mulai bergeser. Pada Agustus 2007, harga biji gelombang cinta naik drastis dalam hitungan minggu. Menurut catatan Iwan Hendrayanta, pemain di Jakarta Barat, pada 14 Agustus 2007 harganya di Jakarta Rp2.000; 20 Agustus (Rp5.000); 31 Agustus (Rp10.000); 9 September (Rp15.000); dan 14 September (Rp17.500). Pergerakan harga membuat pasar menggeliat. Maklum berkaca pada pengalaman jenmanii, begitu menanjak, harganya ajek tinggi.

Apa lacur, memasuki September 2007 harga wave of love meluncur. Harga biji tinggal Rp3.000. Bibit dengan 2-3 daun Rp17.000-Rp20.000. Padahal pada Juli-Agustus sempat menyentuh angka Rp30.000 per bibit. 'Sekarang ini semua menahan barang. Tidak ada yang menjual dan membeli. Tujuannya untuk menahan harga,' ujar Ricky Hadimulya, pemain di Sawangan, Depok. Ratusan bibit yang diimpor dari Amerika Serikat pun masih mangkal di nurserinya.

'Umur tren barang intangible pendek,' ucap Roy. Itu tergantung pada selera masyarakat. Ketika nilai intangible-nya jatuh, yang tersisa nilai kasat mata yang tidak sebesar nilai intangible. Saat itulah bola salju bisnis mencair. Kondisi pasar kembali ke kondisi normal, harga normal. Tren tulip hitam berlangsung kira-kira 1 tahun. Berdasarkan kemiripannya, anthurium diduga bakal mengalami hal sama.

Makanya para pakar mewanti-wanti mereka yang ngotot berinvestasi di anthurium. 'Untuk investasi jangka pendek, sepanjang yang bersangkutan punya sumber informasi dari banyak orang tentang permintaan dan pasar, ia berada dalam kondisi strategis untuk bermain,' kata Roy. Untuk investasi jangka panjang, sebaiknya berpikir ulang. Mereka yang masuk belakangan tanpa perhitungan tepat jadi pihak yang paling rugi. Sementara si pencipta spekulasi sudah berpindah lagi.

Bisnis di harga wajar

Toh, buat Gunawan Wijaya, pemain tanaman hias senior di Sentul, Bogor, wajar banyak orang membenamkan investasi di tanaman hias. 'Sekarang kondisi sektor riil mati. Kalau uang disimpan di bank, berapa bunganya? Bandingkan dengan keuntungan kalau dia menginvestasikan di tanaman hias,' kata mantan pegawai bank swasta itu. Masuknya para pemodal kuat dengan latar belakang nonpertanian justru menunjukkan investasi tanaman hias adalah bisnis nyata. Hanya saja, memang perlu dilakukan analisis pendahuluan. 'Tanpa itu, bukan investasi tapi buang-buang duit,' imbuhnya.

Supaya tren langgeng, 'Sangat tergantung pada kemampuan orang-orang di dalam melakukan inovasi dengan menciptakan sifat-sifat intangible baru,' kata Roy. Ini untuk mengatasi penurunan permintaan dan harga akibat kejenuhan dengan persepsi sifat intangible awal. Pantas setahun tren anthurium berlalu, kini cerita tentang jenis-jenis hitam banyak dicari tengah digadang-gadangkan.

Pemula mesti membidik sasaran bisnis dengan tepat. Ia mesti tahu berapa harga di tingkat normal, ketersediaan stok di pasar, pasar yang akan menyerap, dan sampai kapan pasar bisa menyerap. Kasus wave of love jadi pembelajaran cara membaca pasar.Toh, para pemain yakin pasar anthurium tetap menjanjikan. Indikasinya antara lain, perluasan pasar ke luar Jawa. Mayoritas pemain yang pedagang justru 'menguntungkan'. 'Makin banyak pedagang justru makin banyak konsumen,' kata Gunawan Wijaya.

Pemilik Wijaya Orchids itu mencontohkan pengalaman adenium. Bisnis kamboja jepang kian membesar ketika pemain baru bermunculan. Musababnya, setiap pedagang pasti berupaya supaya dagangannya laku dan menarik konsumen. Namun, kehadiran pebisnis 'jahil' yang hanya mengambil keuntungan sesaat bisa menjadi batu sandungan.

Elvyn menyarankan pemain melakukan diversifikasi supaya tanaman hias jadi investasi berkelanjutan. Diversifikasi yang dimaksud, memainkan banyak jenis tanaman hias berbeda. 'Karena suatu saat tren akan hilang dan berganti dengan yang lain. Diversifikasi merupakan upaya mengurangi risiko kerugian,' kata mantan komisaris Bank Bali itu.

Yang juga harus dipahami, pasar akan stabil. Harga akan berada di bawah harga ketika tren. Itu yang kini terjadi pada adenium, lou han, dan aglaonema-sekadar mencontohkan. Pergerakan pasar aglaonema terjadi pada jenis-jenis dengan harga Rp100.000-Rp200.000-an per tanaman. Adenium bisa dibeli di pedagang keliling Rp25.000 per tanaman. Sementara margin rasional komoditas pertanian hanya 5-10%. Kini pilihan ada di tangan para calon pendulang laba. (Evy Syariefa/Peliput: Argohartono Arie Raharjo, Destika Cahyana, Dian A Susanto, Imam Wiguna, Nesia Artdiyasa, Lastioro Anmi Tambunan, dan Sardi Duryatmo)

http://www.trubus-online.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=1&artid=135

Tidak ada komentar: