09 November 2007

TREND 2007: LARIS MANIS, BISNIS IKUTAN ANTHURIUM

(langitlangit.com) Rumah di sudut Karanganyar itu sederhana, hanya berdinding bata merah tanpa polesan semen. Di depan rumah tertata pot plastik, shading net, plastik UV, dan sarana produksi pertanian lain. Sang pemilik, Didik Warsito, hanyalah sekuriti bergaji Rp1-juta per bulan. Namun, dari perniagaan saprotan itu Didik meraup laba Rp25-juta-Rp30-juta per bulan. Belum lagi tambahan dari jasa membuat greenhouse. Ia mendulang rupiah berlipat dari tren anthurium.

Ibarat bola salju yang bergulir kian membesar dari puncak hingga kaki bukit. Itulah ungkapan buat tren anthurium. Bukan hanya pemilik anthurium yang ketiban untung. Penyedia shading net, pot, bambu, media, besi, dan asbes pun turut mendulang laba. 'Semua kebagian rezeki. Bahkan tukang ojek dan becak pun kecipratan,' kata Asep Somantri, pemain anthurium di Cipanas, Cianjur.

Ucapan Asep Somantri itu bukan omong kosong. Di Karanganyar, Jawa Tengah, pada September 2007, banyak penyedia saprotan dan pengrajin pot yang mendapat berkah dari tren si bunga ekor. Sebut saja Didik Warsito, di Ngijo Tasik Madu, Karanganyar. Sekuriti di perusahaan jamu itu setiap bulan bisa 'bergaji' bak direktur di perusahaan swasta. Itu hasil lonjakan penjualan shading net, pot, media, dan hormon perangsang tumbuh sejak awal 2007.

Pun Marwan Qudhori, produsen pot di Karanganyar. 'Dulu usaha saya megap-megap (tak berkembang, red) membuat pot kecil, diameter 15-50 cm. Biasanya untuk bonsai. Namun, sejak pertengahan 2006, datang permintaan pot ukuran besar, diameter 1 m. Itu untuk indukan anthurium yang banyak masuk ke Karanganyar,' tutur ayah 1 anak itu. Pada periode Agustus 2007, omzet yang diraup Marwan mencapai Rp100-juta. Itu dari kapasitas produksi 27-36 pot per 4 hari. Nama-nama seperti Bayan Manyul dan Bayan Tarso di Karanganyar pun ikut ketiban untung dari penjualan pot.

Menurut Iwan Hendrayanta, ketua Perhimpunan Florikultura Indonesia, tren anthurium saat ini sudah menembus berbagai lapisan masyarakat. Dari rakyat paling bawah hingga konglomerat. Makanya efek bola salju sangat tidak terduga. 'Tukang becak di Jawa Tengah sampai hapal nurseri penyedia anthurium yang letaknya di pelosok. Tak jarang mereka mengajak mampir ke rumah, karena tukang becak pun mempunyai anthurium,' kata Iwan. Bahkan, di Jawa Tengah, pemuda yang kongkow-kongkow pun kerap menjadikan anthurium sebagai tema pembicaraan.

Beda kebutuhan
Menurut Hadi Sumarna, dari nurseri Kunjani, Sawangan, Depok, bola salju terjadi karena setiap periode pertumbuhan anthurium membutuhkan sarana produksi berbeda. Misal, pembibitan anthurium membutuhkan banyak kotak semai. Akibatnya pedagang lengkeng impor kebanjiran rezeki. Pasalnya, keranjang lengkeng asal Thailand itu dijadikan pekebun sebagai kotak semai. Keranjang plastik bekas yang semula hanya Rp1.000 menjadi Rp10.000. 'Harganya naik dan mendapatkannya pun susah. Sekarang keranjang itu sudah dimonopoli oleh pedagang tertentu,' katanya. Begitu juga dengan kotak anggur.

Lain lagi dengan anthurium indukan. Ia membutuhkan pot berukuran besar, diameter 80-100 cm. 'Dulu jarang sekali kita melihat pot sebesar tempayan. Kini hampir setiap nurseri anthurium dipenuhi pot berukuran besar,' lanjut Ade, panggilan akrab Hadi Sumarna. Maka muncullah pot raksasa dari berbagai bahan: plastik, semen, dan tanah liat. Sementara tanaman kecil, muda, dan sedang membutuhkan pot plastik berdiameter 8-40 cm.

Bunga ekor berbagai ukuran itu membutuhkan media paling populer: pakis. Permintaan pakis pun melonjak sehingga dikhawatirkan terjadi penebangan liar di hutan. Beruntung keluar seruan Bupati Karanganyar, Hj Rina Iriani, yang menganjurkan penggunaan media sekam dan daun bambu sebagai pengganti. 'Anthurium bakal dijadikan biang keladi kepunahan pakis bila pelarangan penebangan pakis dilanggar,' kata Rina yang baru saja dinobatkan sebagai bupati anthurium.

Anthurium pun membuka peluang bisnis baru. Sebut saja Dody Baswardojo di Surabaya. Sejak 2 bulan silam ia memproduksi pengilap daun berbahan baku silikon cair. Baru 2 bulan diperkenalkan, pasarnya terbentang dari Surabaya, Solo, Magelang, hingga Jakarta. 'Permintaan sangat kencang. Saya tak menduga, dalam seminggu penjualan mencapai 100 botol. Saya mesti berulangkali pesan,' ujar Andy Solviano Fajar, pemilik nurseri Sekar Jagad, Solo.

Shading net
Menurut Lila Natasaputra, selain media dan pot, penjualan shading net pun terdongkrak karena demam anthurium. 'Pekebun anthurium yang menyemaikan, membesarkan, sampai yang memproduksi biji dari indukan menggunakan shading net,' kata pemain anggrek kawakan itu. Lila yakin shading net yang terjual digunakan pekebun anthurium karena spesifi kasi yang diminta sama, shading net 75% cocok untuk si raja daun itu.

Total jenderal permintaan shading net mencapai 5.000 rol per bulan. Lila baru sanggup memasok 2.000-2.500 rol. Satu rol setara 100 m dengan lebar bervariasi, 1,8 m; 2,5 m; dan 3 m. Belakangan permintaan shading net 65% pun muncul. Usut punya usut, jaring hitam itu tak digunakan sebagai penaung, tapi sebagai bungkus anthurium kala pengangkutan. 'Dulu biasanya pakai koran. Sekarang naik derajat, pakai shading net,' ujarnya.

Mei silam, Lila pernah menganalisis. Ketika itu selama sebulan terjual 400 rol shading net selebar 2,5 m-setara 100.000 m bila dibentangkan. Itu pas untuk menaungi 100.000 induk anthurium bila ditarik asumsi, 1 indukan membutuhkan luasan 1 m x 1 m. Artinya, dengan peningkatan jumlah penjualan shading net pada Agustus 2007, terjadi penambahan populasi hingga 4-6 kali lipat. Bola salju yang menggelinding semakin kencang dan membesar.

Bahan material
Tak hanya sarana produksi pertanian yang permintaannya melonjak. Bahan material seperti papan, bambu, besi, asbes, dan semen pun diburu pekebun. Bambu dan besi dipakai untuk rangka rumah bayang (rumah tanam dengan naungan shading net, red). Papan dan asbes untuk rak. Sedangkan semen untuk bahan baku pot dan pilar tanaman. 'Untuk membangun rumah, saya mesti bersaing dengan pekebun anthurium untuk mendapatkan bambu dan papan,' kata Triarso Wibowo, pengemudi taksi di Solo.

Sebut saja papan setebal 1,3 cm dengan panjang 2 m. Sebelum demam anthurium setahun silam harganya Rp2.500. Kini berlipat 2 menjadi Rp5.500. Pun bambu sepanjang 7 m yang semula Rp3.000 menjadi Rp5.000. 'Karena harga naik dan bahan langka, pembangunan menjadi agak tersendat,' katanya. Untung saja itu tak menjadi malapetaka buatnya. Pasalnya, pendapatan Wibowo tetap mengalir karena setiap hari selalu ada pemburu anthurium dari luar kota yang membutuhkan jasa. Ia pun menjadi pengantar tetap sebuah nurseri untuk mengirim anthurium kepada pembeli.

Menurut Indra Gunawan, pemain anthurium di Sawangan, bola salju tak hanya berputar pada sisi positif, tapi juga meningkatkan pencurian tanaman hias. 'Saat tren aglaonema dan adenium, pencurian tak semarak sekarang. Ini benar-benar puncaknya maling tanaman,' katanya. Di Karanganyar, orang nomor 1 di daerah itu menyebut 80% pencurian ialah kasus anthurium. Itulah gelindingan bola salju anthurium. Semua terkena, dari sisi paling positif hingga negatif.
(Dikutip dari "Gelinding Bola Salju Raja Daun" TRUBUS / Destika Cahyana/Peliput: Argohartono Arie Raharjo, Kiki Rizkika, dan Syah Angkasa)

1 komentar:

mas endar mengatakan...

halooooooooooo bos....inisaya andy solviano fajar solo ..gmn kbr mu.......